Wajib Hati-hati, 2 Medsos Populer di RI Ini Ternyata Sarang Penipu

CNN Indonesia
Kamis, 27 Nov 2025 13:40 WIB
Laporan mengungkap 10 persen pendapatan Meta berasal dari iklan penipuan. Dua senator AS mendesak penyelidikan terkait iklan ilegal di Facebook dan Instagram.
Laporan mengungkap 10 persen pendapatan Meta berasal dari iklan penipuan. Dua senator AS mendesak penyelidikan terkait iklan ilegal di Facebook dan Instagram. (Foto: AFP PHOTO / MOHAMMED ABED)
Jakarta, CNN Indonesia --

Dua platform media sosial yang populer di Indonesia, Facebook dan Instagram, ternyata mendapat keuntungan dari iklan-iklan penipuan dan barang terlarang.

Hal ini terungkap dalam sebuah laporan yang dirilis Reuters awal bulan ini. Dalam laporan tersebut terungkap bahwa 10 persen atau sekitar US$16 miliar (setara Rp266 triliun) dari pendapatan Meta, induk perusahaan Facebook dan Instagram, berasal dari iklan yang mempromosikan penipuan dan barang terlarang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dokumen yang diperoleh Reuters menunjukkan bahwa perusahaan milik Mark Zuckerberg itu selama tiga tahun terakhir gagal mengidentifikasi dan menghentikan gelombang iklan bermasalah itu ke miliaran pengguna Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Skema penipuan beragam, mulai dari e-commerce dan investasi, judi online, serta penjualan produk medis terlarang.

Menurut salah satu dokumen dari Desember 2024, rata-rata perusahaan menayangkan kepada pengguna platformnya sekitar 15 miliar iklan penipuan setiap hari. Dokumen lainnya juga mengungkap bahwa Meta meraup pendapatan tahun sekitar US$7 miliar dari iklan scam tersebut.

Sebagian besar penipuan ini berasal dari pengiklan yang sebetulnya bertindak cukup mencurigakan hingga ditandai oleh sistem peringatan internal Meta. Kendati begitu, perusahaan hanya melarang jika sistem otomatisnya memprediksi bahwa mereka setidaknya 95 persen pasti akan melakukan penipuan.

Merespons temuan itu, dua senator Amerika Serikat (AS), Josh Hawley dan Richard Blumenthal, meminta Komisi Perdagangan Federal (FTC) dan Komisi Sekuritas Bursa (SEC) menyelidiki Meta.

"FTC dan SEC harus segera membuka penyelidikan dan, jika laporan itu akurat, melakukan penegakan hukum secara tegas bila diperlukan untuk memaksa Meta mengembalikan keuntungan, membayar denda, dan menghentikan penayangan iklan semacam itu," demikian bunyi surat Hawley dan Blumenthal, melansir Reuters, Selasa (25/11).

Hawley dan Blumenthal juga meragukan upaya Meta menekan iklan ilegal. Mereka merujuk pada 'Ad Library', basis data publik yang menampilkan seluruh iklan di platform Meta.

"Bahkan tinjauan singkat terhadap Ad Library Meta pada saat surat ini dikirim menunjukkan iklan yang jelas-jelas mempromosikan judi ilegal, penipuan pembayaran, penipuan kripto, layanan seks deepfake berbasis AI, dan tawaran palsu manfaat federal," tulis mereka.

Keduanya juga mengutip laporan Reuters yang menyebut bahwa Meta memperkirakan platformnya terlibat dalam sepertiga total penipuan di AS. Mereka juga mengaitkannya dengan estimasi FTC bahwa warga AS merugi hingga US$158,3 miliar akibat penipuan tahun lalu.

Dalam surat itu, mereka juga menuduh Meta secara sadar menerima iklan yang berkaitan dengan aktivitas scam.

"Scam telah diizinkan mengambil alih Facebook dan Instagram karena Meta memangkas drastis staf keamanannya, termasuk untuk peninjauan yang diwajibkan FTC, bahkan ketika perusahaan menggelontorkan dana besar untuk proyek AI generatifnya," ujar keduanya.

Mereka juga menyoroti maraknya iklan palsu yang mengatasnamakan pemerintah AS atau tokoh politik. Salah satu contohnya adalah, disebutkan iklan palsu yang mengklaim Presiden Donald Trump menawarkan US$1.000 kepada penerima bantuan pangan.

"Walaupun Meta telah diperingatkan soal iklan deepfake yang meniru politisi, perusahaan tetap menayangkan cuplikan penipuan tersebut," demikian isi surat itu.

Keduanya menyebut pelaku di balik scam tersebut sering kali merupakan kelompok kejahatan siber yang berbasis di China, Sri Lanka, Vietnam, dan Filipina.

Menanggapi laporan Reuters, Meta mengaku telah mengurangi laporan penipuan dari pengguna sebesar 58 persen dalam 18 bulan terakhir. Sementara, terkait surat Hawley dan Blumenthal, mereka menyebut hal itu terlalu berlebihan.

"Kami secara agresif memerangi penipuan dan scam karena orang di platform ini tidak menginginkan konten ini, pengiklan yang sah tidak menginginkannya, dan kami pun tidak menginginkannya," kata Andy Stone, Juru Bicara Meta.

(dmi/dmi)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER