SAFENet Respons Wacana Sertifikasi Influencer, Tak Bisa Sembarangan

CNN Indonesia
Jumat, 14 Nov 2025 13:29 WIB
Direktur SAFENet Nenden Sekar Arum mendukung wacana sertifikasi influencer untuk mencegah hoaks, namun peringatkan risiko kontrol opini.
Ilustrasi. SAFENet menyebut wacana sertifikasi influencer bisa jadi langkah positif untuk mencegah penyebaran hoaks di media sosial. (Foto: AFP/MANAN VATSYAYANA)
Jakarta, CNN Indonesia --

Direktur Eksekutif SAFENet Nenden Sekar Arum menyebut wacana sertifikasi influencer bisa jadi langkah positif untuk mencegah penyebaran hoaks di media sosial. Namun begitu, kebijakan ini tidak boleh diterapkan mentah-mentah.

"Sertifikasi influencer sebenarnya bisa jadi langkah positif kalau tujuannya membangun profesionalisme dan mencegah penyebaran hoaks, seperti yang dilakukan di China untuk bidang sensitif seperti kesehatan dan keuangan," ujar Nenden kepada CNNIndonesia.com, Kamis (13/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, penerapannya tidak bisa dilakukan mentah-mentah, karena berpotensi menjadi alat kontrol opini.

"Tapi kalau diterapkan mentah-mentah di Indonesia, risikonya besar karena bisa jadi alat kontrol opini, membatasi kebebasan berekspresi, dan memberatkan kreator kecil," tuturnya.

Menurutnya, solusi ideal adalah self-regulation untuk profesional di bidang tertentu. Misalnya, influencer kesehatan jika memiliki sertifikasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bisa menjadi nilai tambah dan meningkatkan kepercayaan publik.

"Pemerintah cukup jadi fasilitator, bukan pengatur, dan baiknya memang voluntarily aja enggak diwajibin," pungkasnya.

Pemerintah China sebelumnya resmi menerapkan kebijakan baru yang mewajibkan pemengaruh dan pembuat konten memiliki ijazah atau sertifikasi akademik sebelum membahas topik profesional.

Aturan yang diumumkan pada 10 Oktober 2025 oleh Administrasi Radio dan Televisi Negara (NRTA) bersama Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata China itu berlaku untuk konten di bidang kedokteran, hukum, keuangan, pendidikan, dan kesehatan. Sektor tersebut dinilai paling rentan terhadap penyebaran informasi keliru.

Melalui kebijakan tersebut, platform digital seperti Douyin (TikTok versi Tiongkok), Bilibili, dan Weibo diwajibkan memverifikasi kelayakan akademik kreator sebelum mereka diizinkan mempublikasikan konten profesional.

Pelanggaran terhadap aturan ini dapat berujung pada sanksi berupa denda hingga 100.000 yuan (sekitar Rp230 juta) atau penutupan akun. Langkah ini menjadi bagian dari upaya nasional China untuk menjaga integritas informasi daring serta mencegah penyebaran hoaks di ruang digital.

Di sisi lain, Kementerian dan Digital (Komdigi) mengaku mengkaji kebijakan baru pemerintah China tersebut.

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemkomdigi Bonifasius Wahyu Pudjianto mengatakan bahwa pihaknya masih melakukan diskusi dan analisis internal terkait aturan tersebut.

"Informasi ini masih baru, kami masih kaji dulu memang. Kami ada grup WA [WhatsApp], kami lagi bahas 'Gimana ini isu ini? Ada negara udah mengeluarkan kebijakan baru nih', ini masih kita kaji," ujar Bonifasius di Kantor Kemkomdigi, Jakarta Pusat pada Kamis (30/10), melansir Antara.

Komdigi selalu memantau kebijakan negara-negara lain yang berkaitan dengan langkah dalam menjaga ekosistem digital.

(lom/dmi)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER