Sebuah aplikasi kecerdasan buatan (AI) baru yang memungkinkan pengguna berinteraksi dengan Yesus Kristus memicu kontroversi di kalangan umat beragama.
Salah satunya yang sedang populer adalah Text With Jesus, yang menawarkan ribuan pelanggan berbayarnya seakan-akan dapat bertanya langsung kepada sosok Maria, Yusuf, Yesus, dan hampir ke-12 rasul di ajaran Kristen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aplikasi ini dikembangkan oleh perusahaan teknologi Catloaf Software. Perusahaan mengklaim aplikasi ini sebagai sarana edukasi spiritual yang interaktif.
"Ini adalah cara baru untuk membahas isu-isu keagamaan secara interaktif," ujar Stephane Peter, CEO Catloaf Software, melansir AFP, Jumat (3/10).
Namun, meskipun aplikasi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa percakapan dijalankan oleh AI, tokoh-tokoh virtual seperti Yesus dan Musa tidak mengakui diri mereka sebagai AI ketika ditanya secara langsung oleh pengguna.
Peter menyebut, versi terbaru GPT-5 dari ChatGPT yang menjadi basis aplikasi ini, lebih mampu berperan sebagai karakter religius dan menolak dengan tegas jika disebut sebagai robot.
Meski menuai kontroversi, Text With Jesus memiliki ribuan pelanggan berbayar dan mendapatkan rating tinggi di App Store, yakni 4,7 dari 5. Namun, banyak kalangan religius yang menganggap aplikasi ini melecehkan iman mereka.
"Kami tidak ingin menggantikan manusia. Kami hanya ingin membantu," ujar Christopher Costello, direktur teknologi informasi dari Catholic Answers, sebuah lembaga pelayanan daring Katolik yang juga sempat meluncurkan karakter AI bernama "Father Justin".
Namun, setelah menuai protes karena dianggap melecehkan jabatan imam, nama 'Father Justin' akhirnya diubah menjadi sekadar 'Justin'.
Fenomena ini bukan milik Kristen saja. Agama-agama besar lain juga mulai menggunakan teknologi serupa, seperti Deen Buddy untuk umat Islam, Vedas AI untuk Hindu, dan AI Buddha untuk penganut Buddha. Mayoritas aplikasi ini menyatakan diri hanya sebagai alat bantu memahami kitab suci, bukan representasi suci dari tokoh agama.
Namun, penggunaan AI dalam konteks agama bukan tanpa kritik. Rabbi Gilah Langner, pemuka agama Yahudi, menekankan pentingnya koneksi antarmanusia dalam memahami ajaran agama.
"Saya rasa itu tidak bisa didapat dari AI. Mungkin hasilnya akan sangat bernuansa, tapi koneksi emosionalnya hilang," ujar Langner.
Ia menambahkan, AI dapat membuat orang merasa terisolasi dan terputus dari tradisi keagamaan yang hidup.
Nica, seorang perempuan Filipina berusia 28 tahun yang tergabung dalam Gereja Anglikan, mengaku menggunakan ChatGPT hampir setiap hari untuk belajar Alkitab. Meski pendetanya tak menyetujui, ia tetap melihat AI sebagai pelengkap, bukan pengganti.
"Saya punya komunitas Kristen, suami, dan pembimbing rohani. Tapi kadang saya punya pertanyaan acak soal Alkitab dan ingin jawaban cepat," ujarnya.
Namun, tidak semua umat merasa nyaman berbicara tentang penggunaan AI dalam urusan keimanan mereka.
"Orang yang ingin percaya kepada Tuhan sebaiknya tidak bertanya pada chatbot. Mereka harus bicara dengan orang-orang yang juga percaya," kata seorang wanita bernama Emanuela saat keluar dari Katedral St. Patrick di New York.
AI bahkan pernah dipakai menyampaikan khotbah secara penuh dalam sebuah gereja. Pendeta Jay Cooper dari Violet Crown City Church di Austin, Texas, menggunakan asisten AI untuk memimpin ibadah pada November 2023. Meski ia sudah memperingatkan jemaat sebelumnya, banyak yang merasa risih.
"Ada yang panik, bilang gereja kami sekarang jadi gereja AI," kata Cooper.
Namun, ia juga mengungkapkan bahwa ibadah tersebut menarik perhatian orang-orang yang biasanya tidak datang ke gereja, terutama para penggemar video game.
"Saya senang kami mencobanya, tapi itu tidak menyampaikan hati dan semangat dari apa yang biasanya kami lakukan," kata dia menambahkan.
Sementara itu, Vatikan justru menunjukkan keterbukaan terhadap AI. Tahun lalu, Paus Fransiskus menunjuk Demis Hassabis, salah satu pendiri laboratorium AI Google DeepMind, sebagai anggota Akademi Ilmiah Kepausan.
(dmi/dmi)