Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan menggunakan bukti-bukti ilmiah bahwa pesisir selatan Jawa pernah berulang kali dihantam tsunami raksasa yang dipicu gempa megathrust berkekuatan magnitudo 9,0 atau ribuan tahun silam. Bencana itu bukan peristiwa tunggal, melainkan berulang setiap 600-800 tahun.
Temuan ini berasal dari riset paleotsunami yang dilakukan Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG) BRIN. Hasilnya menjadi peringatan serius bahwa ancaman gempa dan megatsunami serupa masih membayangi wilayah tersebut.
"Riset ini sangat penting, karena selatan Jawa terus berkembang dengan pembangunan infrastruktur strategis, sementara ancaman tsunami raksasa yang berulang justru belum sepenuhnya dipahami dan diantisipasi," kata Peneliti Ahli Madya PRKG BRIN, Purna Sulastya Putra, Selasa (5/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu temuan kunci riset ini adalah lapisan sedimen tsunami purba berusia sekitar 1.800 tahun, yang ditemukan di berbagai titik seperti Lebak, Pangandaran, dan Kulon Progo.
"Dikarenakan penyebarannya yang meluas di banyak lokasi di selatan Jawa, jejak ini diperkirakan merupakan hasil dari tsunami raksasa yang disebabkan gempa megathrust berkekuatan magnitudo 9,0 atau lebih," ujar Purna.
"Ini bukan satu-satunya. Jejak tsunami raksasa lainnya ditemukan berumur sekitar 3.000 tahun lalu, 1.000 tahun lalu, dan 400 tahun lalu," ucap dia lagi.
Penelitian dilakukan melalui pengamatan lapangan, terutama di kawasan rawa dan laguna yang mampu mengawetkan sedimen laut akibat hempasan gelombang tsunami. Analisis lanjutan, seperti uji mikrofauna, kandungan unsur kimia, dan penentuan umur radiokarbon, digunakan untuk memastikan bahwa lapisan tersebut benar berasal dari tsunami.
"Tantangannya adalah tak semua endapan tsunami purba bisa bertahan utuh dan terawetkan dengan baik, dan membedakan dengan sedimen akibat proses-proses lain seperti banjir atau badai pun memerlukan kehati-hatian," jelas Purna.
Lihat Juga : |
Ia menegaskan bahwa siklus kejadian tsunami raksasa di selatan Jawa berkisar antara 600-800 tahun. "Ini artinya, bukan soal apakah tsunami besar akan terjadi, tapi kapan," katanya.
Data paleotsunami yang dihasilkan BRIN dinilai penting sebagai dasar perumusan kebijakan tata ruang dan mitigasi bencana. Informasi tentang wilayah terdampak, periode ulang, serta estimasi jarak genangan dapat dimanfaatkan untuk menetapkan zona rawan, menentukan lokasi evakuasi, dan merancang jalur penyelamatan yang efektif.
"Pemerintah daerah sebaiknya mulai memanfaatkan data ini untuk menyusun rencana pembangunan yang berwawasan risiko, serta melakukan sosialisasi rutin ke masyarakat," pungkas Purna.
(fea)