Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya mengaku siap menempuh jalur hukum jika upaya dialog terkait isu pemakzulan tidak kunjung terwujud.
Dalam konferensi pers di Kantor PBNU, pada Rabu (3/12), Gus Yahya bersikukuh jika dirinya masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU. Oleh karenanya ia mendorong agar ada upaya dialog dan musyawarah terkait polemik yang sedang terjadi.
"Kami akan pertahankan ini dengan sekuat-kuatnya apabila jalan dialog, jalan musyawarah dengan akal sehat, dengan maksud baik, dengan hati yang tulus," ujarnya dalam konferensi pers.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini ditolak sama sekali, mungkin karena kepentingan atau apa pun, ya kami siap untuk menempuh jalur hukum demi menjaga keutuhan dari tatanan organisasi ini," imbuhnya.
Gus Yahya menegaskan sesuai AD/ART dan peraturan di PBNU, posisi Ketua Umum tidak bisa digantikan dengan seenaknya kecuali melalui muktamar.
Sehingga, kata dia, hasil Rapat Harian Syuriyah terkait pencopotan dirinya tidak dapat diterima dan batal demi hukum karena di luar kewenangan dari Syuriyah itu sendiri.
Lebih lanjut, Gus Yahya mengaku dirinya tidak mengapa jika harus turun dari posisinya sebagai Ketum PBNU asalkan memang dilakukan lewat proses muktamar.
Karenanya, ia mendorong agar pelaksanaan muktamar NU dapat segera dilakukan. Sehingga, kata dia para peserta muktamar yang akan mengambil keputusan terkait polemik tersebut.
"Soal jabatan ini bukan sesuatu yang terpenting, tetapi yang paling penting adalah mengenai tatanan organisasi. Mari kita laksanakan tatanan organisasi ini," tuturnya.
Lebih lanjut, Gus Yahya mengaku dirinya bersama pengurus yang lain telah membuat keputusan dengan tekad untuk menjaga tatanan organisasi ini sekuat-kuatnya.
"Kami tidak bersedia merelakan semua ini hanya untuk kepentingan-kepentingan sepihak atau kepentingan-kepentingan parsial dari sebagian orang," pungkasnya.
Konflik di internal PBNU bermula dari beredarnya dokumen risalah rapat harian Syuriyah PBNU, 20 November 2025 lalu. Forum itu meminta Yahya Cholil Staquf mundur atau dicopot dari posisi Ketua Umum PBNU, dalam waktu tiga hari.
Dokumen itu ditandatangani Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar. Beberapa alasan pemakzulan itu antara lain, karena Yahya dianggap memiliki keterkaitan dengan jaringan zionisme internasional, serta dinilai telah melanggar tata kelola keuangan PBNU.
Beberapa hari setelahnya, Rabu (26/11), terbitlah surat edaran PBNU bercap tanda tangan elektronik Wakil Rais Aam Afifuddin Muhajir dan Katib Ahmad Tajul Mafakhir, Nomor: 4785/PB.02/A.II.10.01/99/11/202, yang menyebut Yahya sudah tidak lagi berstatus sebagai ketua umum.
Merespons hasil rapat jajaran Syuriyah serta surat itu, Gus Yahya pun melawan dan mengaku tidak akan mundur. Ia juga menyatakan surat itu tidak sah. Dia menegaskan dirinya masih berstatus sebagai Ketum PBNU.
Sejalan dengan itu, Gus Yahya mencopot Menteri Sosial Saifullah Yusuf alias Gus Ipul dari jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBNU, serta mencopot Gudfan Arif dari posisi Bendahara Umum PBNU.
Pencopotan Gus Ipul itu berdasarkan keputusan Rapat Harian Tanfidziyah yang digelar Jumat (28/11) di kantor PBNU, Kramat Raya, Jakarta. Rapat dipimpin langsung Gus Yahya selaku Ketua Umum PBNU.
Berikutnya, Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar akhirnya muncul di depan publik dan menyatakan Gus Yahya tidak lagi menjabat sebagai Ketua Umum PBNU sejak 26 November 2025 pukul 00.45 WIB.
Gus Ipul sementara itu menyerahkan masalah internal NU kepada ulama.
"Kalau sudah NU, itu kita serahkan ke ulama. Karena ini Nahdlatul Ulama," kata Gus Ipul kepada wartawan, Rabu (3/12).
Menurutnya, para ulama di PBNU mengambil keputusan berdasarkan nilai-nilai agama. Jadi, Gus Ipul menegaskan akan mengikuti keputusan para ulama.
"Tentu para ulama mengambil keputusan-keputusan berdasarkan juga nilai-nilai agama. Itu saja. Jadi kami ikut keputusan ulama," katanya.
(tfq/gil)