Hakim Djuyamto Mau Kembalikan Uang Suap Rp5,5 M Kasus Vonis Lepas CPO

CNN Indonesia
Rabu, 08 Okt 2025 15:02 WIB
Hakim nonaktif Djuyamto dan Agam Syarief Baharudin berencana mengembalikan uang diduga hasil suap pengurusan perkara kasus korupsi minyak sawit mentah.
Hakim nonaktif Djuyamto dan Agam Syarief Baharudin berencana mengembalikan uang diduga hasil suap pengurusan perkara kasus korupsi minyak sawit mentah. (ANTARA FOTO/FAUZAN)
Jakarta, CNN Indonesia --

Hakim nonaktif Djuyamto dan Agam Syarief Baharudin berencana mengembalikan uang diduga hasil suap berkaitan dengan pengurusan perkara korporasi dalam kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya periode Januari-April 2022.

Rencana pengembalian itu disampaikan oleh tim penasihat hukum Djuyamto dan Agam dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (8/10). Sidang hari ini beragendakan pemeriksaan saksi mahkota.

Tim penasihat hukum Djuyamto mengatakan berdasarkan informasi dari Majelis Wakil Cabang wilayah Nahdlatul Ulama (MWC NU) Kartasura, tanah yang rencananya hendak dibangun untuk kantor terpadu itu sudah laku terjual.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adapun Djuyamto merupakan ketua pelaksana pengadaan dan pembangunan kantor terpadu NU Kartasura. Hal itu terungkap dari kesaksian Bendahara MWC NU Kartasura yakni Suratno yang diperiksa sebagai saksi di persidangan pada pertengahan September lalu.

"Dalam hal ini disampaikan bahwa total nilai tersebut itu sebesar Rp5,5 miliar. Dalam sidang kali ini kami hendak bermohon kepada majelis hakim, dana tersebut akan kami proses untuk pengembalian kepada jaksa penuntut umum melalui perintah majelis hakim untuk diizinkan untuk dapat diterima oleh teman-teman jaksa penuntut umum," kata salah seorang tim penasihat hukum Djuyamto dalam persidangan.

Tim penasihat hukum meminta arahan majelis hakim terkait dengan pengembalian tersebut. Sebab, ada opsi untuk menyerahkan uang secara tunai atau dikirim ke rekening titipan melalui virtual account dari pihak jaksa penuntut umum.

"Izin majelis agar dapat dimusyawarahkan dan diputuskan pada hari ini, sebelum dibacakan tuntutan mungkin pada minggu depan atau sidang selanjutnya," kata dia.

Ketua Majelis Hakim Effendi tidak buru-buru mengabulkan permintaan tersebut. Dia meminta pendapat dari jaksa penuntut umum terlebih dahulu.

"Dari penuntut umum apa tanggapannya?" tanya hakim.

"Pertama kami ucapkan terima kasih atas iktikad baik dari pihak NU. Kemudian yang kedua itu kan secara teknis eksekusinya ada di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat," tutur jaksa.

"Itu pelaksanaannya ada di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Yang Mulia. Mungkin kami perlu waktu koordinasi," lanjut jaksa.

"Jadi, prosesnya seperti apa itu?" tanya hakim lagi.

"Nanti kami tampung dulu di rekening penerimaan. Nanti kita mintakan penetapan sitanya dari Yang Mulia," ucap jaksa.

"Tapi sekarang kita belum percaya juga, belum lihat lagi uangnya kan," tutur hakim.

"Iya maka daripada itu kami dalam kesempatan kali ini meminta izin kepada majelis hakim untuk menyampaikan kepada jaksa penuntut umum agar dapat dibuka segera rekening penitipan tersebut agar bisa segera kami masukkan majelis," timpal tim penasihat hukum Djuyamto.

Majelis hakim lantas meminta agar hal tersebut dikomunikasikan lebih lanjut antara tim penasihat hukum dengan jaksa penuntut umum.

"Bisa dibangun komunikasi. Nanti komunikasinya saja," ucap hakim.

Selain Djuyamto, pihak terdakwa Agam Syarief juga hendak mengembalikan uang diduga terkait perkara sejumlah Rp1 miliar.

"Mohon izin Yang Mulia, dari tim penasihat hukum Agam Yang Mulia, sekaligus tadi disinggung jaksa penuntut umum bahwa kita juga ada pengembalian susulan Yang Mulia karena ada penarikan reksadana senilai Rp1 miliar. Itu kita rencanakan pengembalian dalam waktu dekat," ucap salah seorang tim penasihat hukum Agam.

"Baik. Nanti koordinasi saja langsung ke Kejaksaan ya temui jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat," kata hakim.

Sebelumnya, majelis hakim yang menjatuhkan putusan lepas terhadap terdakwa korporasi PT Permata Hijau Group, PT Wilmar Group dan PT Musim Mas Group dalam kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya periode Januari-April 2022 didakwa menerima suap senilai Rp21,9 miliar.

Mereka ialah Djuyamto selaku ketua majelis serta dua hakim anggota yakni Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom.

Total suap untuk putusan lepas perkara tersebut sejumlah Rp40 miliar. Tindak pidana itu juga melibatkan mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta dan Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan. Arif dan Wahyu dilakukan penuntutan dalam berkas terpisah.

"Menerima hadiah atau janji yaitu menerima uang tunai dalam bentuk mata uang dolar Amerika, sejumlah 2,5 juta dolar Amerika atau senilai Rp40 miliar," kata jaksa saat membacakan surat dakwaan.

Terdapat dua kali penerimaan terkait tindak pidana ini. Pertama berbentuk uang tunai pecahan US$100 sejumlah US$500.000 atau setara Rp8.000.000.000.

Wahyu disebut menerima dalam pecahan US$ senilai Rp800.000.000, Arif Nuryanta menerima dalam pecahan US$ setara Rp3.300.000.000, Djuyamto dalam pecahan US$ dan Sin$ senilai Rp1.700.000.000, Agam Syarief menerima dalam pecahan US$ dan Sin$ senilai Rp1.100.000.000, dan Ali Muhtarom dalam pecahan US$ senilai Rp1.100.000.000.

Sedangkan penerimaan kedua dalam bentuk US$100 sebesar US$2.000.000 atau setara Rp32.000.000.000.

Rinciannya Wahyu menerima US$100.000 atau senilai Rp1.600.000.000, Arif menerima dalam pecahan US$ senilai Rp12.400.000.000, Djuyamto dalam pecahan US$ senilai Rp7.800.000.000, Agam Syarief dalam pecahan US$ senilai Rp5.100.000.000, dan Ali Muhtarom dalam pecahan US$ senilai Rp5.100.000.000.

Jaksa mengungkapkan uang tersebut diterima dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih dan M. Syafe'i selaku advokat atau pihak yang mewakili kepentingan terdakwa korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.

Adapun uang suap itu bertujuan untuk memengaruhi putusan terhadap tiga terdakwa korporasi sebagaimana disebut di atas.

Djuyamto dkk pada akhirnya menjatuhkan vonis lepas atau ontslag van alle recht vervolging.

Atas perbuatannya, Djuyamto dkk didakwa melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

(ryn/isn)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER