Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan potensi kerugian negara akibat kasus tindak pidana korupsi di tahun 2024 mencapai Rp279,9 triliun.
Secara signifikan dipengaruhi oleh kasus korupsi tata niaga komoditas Timah di lingkungan PT Timah Tbk dengan kontribusi 96,8 persen dari total kerugian tersebut. Kasus tersebut ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Peneliti ICW Zararah Azhim Syah dalam konferensi pers 'Tren Penindakan Kasus Korupsi 2024' di Rumah Resonansi ICW, Jakarta, Selasa (30/9), mengatakan potensi kerugian negara yang sangat besar tersebut tidak sebanding dengan pengembalian ke kas negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari total potensi kerugian negara sebesar Rp279,9 triliun pada tahun 2024, berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, pemerintah baru berhasil mengumpulkan pendapatan penyelesaian ganti kerugian negara sebesar Rp28,5 miliar," ujar Azhim dalam pemaparannya.
Nilai tersebut bukan hanya berasal dari pemulihan kerugian negara dari tindak pidana korupsi yang disidik pada tahun 2024 saja, melainkan juga berasal dari pemulihan ganti kerugian negara dari berbagai tindak pidana yang terjadi pada 2024 dan tahun-tahun sebelumnya.
Bahkan, nilai pendapatan penyelesaian ganti kerugian negara tahun 2024 turun sebesar Rp12,8 miliar atau 30,9 persen dari tahun 2023 sebesar Rp41,3 miliar.
Azhim mengatakan minimnya nilai kerugian negara yang dapat dipulihkan satu di antaranya disebabkan oleh belum diutamakannya penggunaan instrumen Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur pengenaan uang pengganti.
Berdasarkan pemantauan ICW sepanjang tahun 2024, dari total 364 kasus hanya terdapat 48 kasus yang dikenakan Pasal 18 UU Tipikor, dan hanya terdapat 5 kasus korupsi yang ditangani dengan menggunakan instrumen Pasal TPPU.
Kasus tersebut berkaitan dengan dugaan korupsi pengadaan buku yang melibatkan Fahrur Rozi, mantan Kepala Kejaksaan Negeri Buleleng. Dia diduga menerima uang hasil korupsi senilai Rp46 miliar dan dijerat menggunakan Pasal 3 UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Selain itu, terang Azhim, ICW tidak menemukan aparat penegak hukum yang menggunakan Pasal terkait gratifikasi dan benturan kepentingan dalam pengadaan.
"Minimnya penerapan Pasal pencucian uang dan Pasal 18 UU Tipikor dalam kasus tindak pidana korupsi mengindikasikan bahwa kompetensi sumber daya manusia aparat penegak hukum masih menjadi permasalahan utama untuk mendukung pemberantasan korupsi," ucap dia.
"APH perlu meningkatkan kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menjalankan mekanisme follow the money untuk mengejar aset yang berasal dari tindak pidana korupsi," pungkas Azhim.
Azhim menjelaskan laporan tersebut disusun berdasarkan kompilasi kasus tindak pidana korupsi yang telah masuk tahap penyidikan dan telah terdapat penetapan tersangka.
Informasi yang dihimpun mencakup deskripsi singkat kasus, identitas tersangka (nama lengkap atau inisial), latar belakang profesi atau jabatan, serta estimasi nilai kerugian negara, suap, pungutan liar, dan aset yang diduga disamarkan melalui praktik pencucian uang.
Adapun sumber data utama berasal dari publikasi resmi lembaga penegak hukum, yakni Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang kemudian dilengkapi dengan pemberitaan media massa nasional maupun lokal.
Dalam menggunakan pemberitaan media daring, ICW menerapkan sejumlah kriteria seleksi untuk menjaga akurasi dan kredibilitas data. Media yang dijadikan rujukan adalah media yang memiliki rekam jejak profesional, berbadan hukum, dikelola oleh redaksi yang jelas, dan konsisten mematuhi prinsip-prinsip jurnalisme.
Selain itu, ICW mengutamakan media yang kredibel secara nasional maupun lokal, bukan blog atau media yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sumber dan keberadaannya.
Untuk menjamin validitas dan konsistensi informasi, setiap kasus yang dipantau minimal diverifikasi melalui tiga sumber pemberitaan media daring yang berbeda.
Kasus yang dicantumkan dalam laporan tersebut adalah perkara yang telah masuk tahap penyidikan sejak 1 Januari hingga 31 Desember 2024. Proses tabulasi data dilakukan sepanjang 30 Januari hingga 25 September 2025 dengan fokus pada perkara yang memiliki informasi umum, seperti uraian kasus atau identitas tersangka.
Apabila suatu perkara telah naik ke tahap penyidikan namun informasi penetapan tersangkanya belum tersedia, maka kasus tersebut tidak dimasukkan dalam data.
Azhim menuturkan sebagian besar informasi diperoleh dari pemberitaan media daring. Hal itu disebabkan situs resmi aparat penegak hukum khususnya satuan kerja Kejaksaan dan Kepolisian di daerah minim publikasi atau sulit diakses.