Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menerapkan asas nebis in idem dalam putusan perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Windu Aji Sutanto selaku pemilik PT Lawu Agung Mining (LAM).
Hakim berpendapat kasus tersebut sama dengan perkara sebelumnya yang telah menjerat terdakwa sebagai tindak pidana asal (predicate crime).
Adapun perkara sebelumnya adalah kasus korupsi penambangan ore nikel di wilayah izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP OP) PT Antam blok Mandiodo-Lasolo-Lalindu di Sulawesi Tenggara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nebis in idem merupakan asas hukum yang melarang seseorang dituntut atau diadili lebih dari satu kali untuk perkara yang sama, atas perbuatan yang sama, dan dengan pihak yang sama, setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dari pengadilan sebelumnya.
"Mengadili, menyatakan perkara terdakwa atas nama Windu Aji Sutanto nebis in idem," ujar ketua majelis hakim Sri Hartati saat membacakan amar putusan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (24/9).
"Majelis hakim berpendapat bahwa perkara (TPPU) ini merupakan pengulangan perkara tindak pidana korupsi sebelumnya," sambung hakim.
Putusan serupa juga diberikan kepada terdakwa lain atas nama Glenn Ario Sudarto selaku Direktur sekaligus pelaksana lapangan PT LAM.
Hakim menjelaskan kasus TPPU dapat dinyatakan nebis in idem dan seluruhnya tidak bisa diperiksa kembali.
Hal ini apabila memiliki dasar dan pokok perkara yang sama dengan tindak pidana asal di perkara tindak pidana korupsi, serta semua bukti telah dipertimbangkan dan putusan terhadap perkara korupsi tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap.
"Asas ini merupakan perlindungan hukum bagi terdakwa untuk tidak dituntut dua kali atas perbuatan yang sama," ungkap hakim.
Hakim mengatakan TPPU bertujuan untuk menyamarkan, menyembunyikan asal-usul uang hasil kejahatan yang diperoleh dari tindak pidana asal seperti korupsi, bisa saja sudah dicuci oleh terdakwa sendiri atau pihak ketiga, sehingga TPPU menjadi mekanisme untuk menjerat harta tersebut.
Namun, ternyata, kasus TPPU yang menjerat terdakwa Windu Aji dan Glenn Ario, baik uraian perbuatan dan hasil kejahatan yang dilakukan kedua terdakwa, telah diputus dalam perkara nomor: 116/Pid.Sus-TPK/2023/PN Jkt.Pst.
Kemudian telah diadili di tingkat banding dengan nomor: 32/PID.SUS-TPK/2024/PT DKI, serta telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) melalui putusan kasasi di Mahkamah Agung (MA) dengan nomor: 7918 K/PID.SUS/2024.
Meski begitu, terdapat pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan ini oleh hakim anggota II Hiashinta Fransiska Manalu.
Menurut dia, dalam kasus kali ini, Windu Aji dan Glenn Ario didakwa dengan Pasal 3 atau Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberentasan TPPU juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Berbeda dengan dakwaan predicate crime sebelumnya yakni terbukti melanggar Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor.
"Bahwa masing-masing dakwaan tersebut mengandung unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dan diatur dalam peraturan dan perundang-undangan yang berbeda pula. Bahwa walaupun dakwaan tersebut didasarkan pada peristiwa yang sama, tetapi terdakwa didakwa dengan perbuatan pidana yang berbeda," kata hakim Hiashinta membacakan pertimbangan pendapatnya.
Mengenai hal tersebut, KUHAP memberikan kebebasan kepada jaksa penuntut umum untuk menyusun dakwaan dalam beberapa bentuk. Hal ini sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/JA/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan, apakah dalam bentuk dakwaan tunggal, alternatif, subsider, kumulatif, ataupun kombinasi beberapa bentuk di atas.
Jaksa dalam tuntutannya 13 Agustus lalu ingin Windu Aji dihukum dengan pidana 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa menilai harta-harta yang dialihkan Windu Aji patut diduga merupakan hasil tindak pidana terkait pencucian uang.
Atas dasar tersebut, Windu Aji dinilai jaksa telah terbukti melanggar Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan pertama penuntut umum.
Sementara Glenn dituntut dengan pidana 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
(fra/ryn/fra)