Polisi menangkap 10 orang diduga pelaku pembakaran di kantor DPRD Sulawesi Selatan dan DPRD Makassar.
Dugaan pembakaran dan penjarahan yang terjadi di tengah gelombang demonstrasi pekan lalu itu berujung kematian sejumlah orang, termasuk aparatur sipil negara (ASN).
"Jadi berdasarkan kerja tim, ada 10 orang yang kita amankan," kata Direktur Krimum Polda Sulsel, Kombes Pol Setiadi Sulaksono kepada wartawan, Selasa (2/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiadi mengatakan para pelaku yang ditangkap diduga terkait aksi pembakaran dan penjarahan di kantor DPRD Sulsel dan Makassar pada unjuk rasa 29 Agustus kemarin.
"Ada beberapa TKP, terutama di DPRD kota dan DPRD provinsi," ujarnya.
Lihat Juga : |
Para pelaku yang diamankan, kata Setiadi memiliki peran masing-masing seperti pelaku penjarahan dan pengrusakan.
"Ada beberapa yang melakukan penjarahan, pengrusakan dan terus ada yang mempengaruhi masyarakat untuk melakukan makar," ungkapnya.
Setiadi menerangkan bahwa dalam kasus ini tidak menutup kemungkinan para pelaku akan bertambah seiring penyelidikan masih berjalan di Polda Sulsel.
"Tim kami masih terus melakukan upaya-upaya yang akan dikembangkan. Ini akan kami tindak lanjuti, update-nya bisa disampaikan setiap saat," pungkasnya.
Terpisah, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menyatakan aksi perusakan gedung pemerintahan dan penjarahan yang terjadi belakangan ini bukan dilakukan massa demonstran, melainkan oleh kelompok penyusup.
"Bedakan antara penyampaian aspirasi, demonstrasi, dan tindakan anarki. Polisi yang menjadi korban kemarin itu adalah polisi yang menjadi korban tindakan anarki yang dilakukan oleh para pelaku anarki, pelaku penyusup, yang tidak menyampaikan aspirasi apa pun," tuturnya di Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta Pusat, Selasa siang.
Ia menjelaskan pemerintah tidak mempermasalahkan unjuk rasa karena hal itu merupakan hak yang dilindungi konstitusi. Namun, tindakan seperti pembakaran, perusakan, hingga penyerangan fasilitas publik tidak bisa dianggap sebagai bagian dari demonstrasi.
Hasan menuturkan aparat negara yang menjadi korban bentrokan sedang menjalankan tugas menjaga ketertiban umum.
Mereka berhadapan dengan kelompok yang menyerang menggunakan bom molotov, batu, dan melakukan pembakaran. Menurutnya, hal itu jelas berbeda dengan demonstrasi yang berlangsung damai.
"Jadi, mereka adalah aparat negara yang menjadi korban dari tindakan anarki. Jadi, mereka sedang menjalankan tugas negara untuk menegakkan ketertiban umum berhadapan dengan para pelaku anarki, bukan karena berhadapan dengan para demonstran yang menyampaikan aspirasi," ujarnya.
Ia menambahkan biasanya massa aksi telah membubarkan diri pada sore hari dengan tertib, sedangkan penyerangan terhadap gedung pemerintahan maupun aksi pembakaran terjadi pada malam hari.
"Kalau yang menyerang polisi malam-malam, menyerang gedung pemerintah malam-malam, membakar halte, membakar gedung pemerintah, itu para pelaku anarki yang oleh pemerintah harus dikira-kira benar," kata Hasan.
Demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah sejak pekan lalu dipicu tunjangan rumah fantastis DPR. Gelombang demonstrasi itu makin meluas dan membesar setelah pengemudi ojek daring (ojol) Affan Kurniawan tewas dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob saat pengamanan demo 28 Agustus lalu.
Kericuhan terjadi di tengah penyampaian aspirasi itu di antaranya di depan Mako Brimob Polda Metro Jaya di Kwitang, Jakarta Pusat, depan Gedung DPRD Jabar di Bandung, Gedung Negara Grahadi di Surabaya, dan gedung DPRD di Makassar.