Hasto Kristiyanto kembali menduduki posisi sekretaris jenderal (Sekjen) DPP PDIP periode 2025-2030 usai sempat divonis 3,5 tahun penjara di kasus suap terkait Harun Masiku.
Hasto kembali dipercaya Ketum Megawati Sukarnoputri sebagai sekjen usai mendapatkan amnesti dari Presiden RI Prabowo Subianto di kasus dugaan korupsi suap eks komisioner KPU RI Wahyu Setiawan.
Hasto dilantik Mega pada Kamis (14/8) di Kantor DPP PDIP Jakarta. Pelantikan ini sekaligus mengukuhkan Hasto sebagai orang yang paling lama menjabat sebagai sekjen partai banteng bermoncong putih. Posisi Sekjen dijabat Hasto sejak 2015 silam. Kala itu, ia menggantikan posisi mendiang Tjahjo Kumolo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apabila dihitung sejak 2015 hingga akhir periode kepengurusan pada 2030, Hasto terhitung akan duduk sebagai sekjen selama tiga periode lamanya. Hal ini cukup lama apabila dibandingkan dengan seniornya di posisi serupa, Tjahjo dan Pramono Anung yang rata-rata hanya menjabat selama satu periode kepengurusan.
Lantas apa yang membuat Hasto bertahan sekian lama sebagai sekjen, khususnya setelah sempat tersandung kasus hukum?
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah sudah membaca Hasto akan kembali duduk sebagai sekjen setelah posisi itu kosong dan Mega sebagai ketum merangkap posisi tersebut usai Kongres ke-6 PDIP di Bali.
"Kosongnya posisi sekjen saat kongres menandai kuatnya posisi Hasto, dan memang Megawati tidak terkesan dengan perubahan, bahkan Kongres yang dilaksanakan pasca putusan amnesti cukup menguatkan dugaan tidak ada tokoh yang lebih dikehendaki oleh Megawati selain Hasto," kata Dedi kepada CNNIndonesia.com, Kamis (14/8) malam.
Dedi berpendapat dalam hal ini Mega tak hanya melihat dari segi kapasitas belaka, melainkan juga sisi kedekatan dengannya. Ia menilai sejauh ini Hasto memang paling menonjol dibanding kader PDIP lain dalam memahami corak politik Mega.
Dedi berpendapat dalam konteks ini Hasto unggul dibandingkan dengan kader potensial lainnya seperti Said Abdullah, Utut Adianto, hingga Ganjar Pranowo.
Hal senada juga disampaikan Analis komunikasi politik Hendri Satrio (Hensat) yang mengaku tak terkejut dengan kembalinya Hasto sebagai Sekjen PDIP. Ia bahkan sudah memprediksi sejak awal bahwa Mega takkan mengganti Hasto.
Ia berpendapat hingga saat ini Mega nampaknya memang belum mau mengganti Hasto dengan orang lain. Hensat berpendapat hal itu bisa saja didasari rekam jejak Hasto yang tegak lurus dan loyal kepadanya.
Hensat menyebut loyalitas inilah yang mungkin jadi kunci utama dalam dinamika internal PDIP, di mana kestabilan kepemimpinan dianggap penting untuk menghadapi agenda politik mendatang, seperti persiapan Pemilu 2029 dan pengawalan program-program pro-rakyat.
"Kenyamanan itu masih ada di Hasto, jadi selama kenyamanan itu masih ada, saya rasa tidak akan posisi sekjen itu diberikan ke orang lain," kata Hensat.
Diangkatnya Hasto kembali menjadi sekjen tentu tak bisa dilepaskan dengan realitas politik pemberian amnesti oleh Prabowo. Mensesneg Prasetyo Hadi sendiri mengakui bahwa pemberian amnesti ini memang lebih bernuansa politis.
Perihal ini, Dedi Kurnia Syah berpandangan justru kecil kemungkinan kembalinya Hasto sebagai sekjen ini merupakan bagian dari kesepakatan politik antara PDIP dengan kubu Prabowo.
"Jika Hasto tidak masuk struktur, bisa jadi bagian dari deal politik dengan pihak luar PDIP, tetapi jika sebaliknya kecil kemungkinan ada deal politik soal itu," ujar Dedi.
Namun, Dedi berpendapat Jokowi bisa saja menjadi pihak yang paling dirugikan dengan kembalinya Hasto ke lingkaran elite PDIP ini.
"Jokowi bisa jadi pihak paling kecewa dengan kembalinya Hasto ke struktur PDIP, dari sisi ini PDIP memang diuntungkan, tetapi tetap terhitung mahal modal politiknya hanya demi Hasto," ucapnya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Governance and Development Policy, Cusdiawan berpandangan bahwa selain faktor kepercayaan dan kenyamanan, Mega juga memperhitungkan segi dinamika politik dirinya dengan Prabowo dan Jokowi.
Ia menyebut selama ini Hasto merupakan salah satu sosok yang paling vokal menentang Jokowi.
"Pak Hasto yang selama ini dikenal begitu vokal menentang Pak Jokowi masih diperlukan oleh Bu Mega di tengah situasi hubungan Bu Mega dan Pak Jokowi yang saya rasa sulit membayangkan untuk kembali pulih," kata Cus.
Selain itu, Cus juga berpendapat kembalinya Hasto ini takkan terlalu membawa dampak bagi partai, khususnya kalkulasi elektoral.
"Bahkan meskipun misalnya lawan-lawan PDIP ke depan memainkan isu mengenai kasus hukum Pak Hasto untuk membangun citra negatif terhadap PDIP," ucap dia.
Hal senada juga disampaikan Dedi Kurnia Syah yang menyebut kecil kemungkinan penunjukkan Hasto ini berpotensi membawa dampak buruk ke partai di kemudian hari. Ia mengatakan kasus dugaan korupsi yang menjerat kader parpol sudah sangat marak di Indonesia dan sayangnya hal itu tak terlalu berdampak pada elektabilitas parpol.
"PDIP di Pemilu 2024 juga bertarung dengan skandal korupsi, faktanya mereka tetap unggul," kata Dedi.