ANALISIS

Kepala BNN Larang Tangkap Pemakai Narkoba, Apa Dampak-Dasar Hukumnya?

CNN Indonesia
Jumat, 18 Jul 2025 08:32 WIB
Kepala BNN melarang penangkapan pengguna narkoba, termasuk artis, dan mendorong rehabilitasi. Lantas bagaiaman landasan hukumnya?
Ilustrasi. Kepala BNN melarang penangkapan pengguna narkoba, termasuk artis, dan mendorong rehabilitasi. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Daftar Isi
Jakarta, CNN Indonesia --

Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Marthinus Hukom telah mengeluarkan pernyataan yang melarang anak buahnya untuk menangkap pengguna narkoba, termasuk dari kalangan artis.

Instruksi itu disampaikan Marthinus menyusul tingginya penghuni lapas yang didominasi narapidana kasus narkoba. Menurut Marthinus, berdasarkan ketentuan UU Narkotika, pengguna narkoba cukup menjalani rehabilitasi, bukan pidana.

Dia menyebut pengguna narkoba merupakan korban dari para bandar.

"Seperti kasus Fariz RM [musisi senior], berapa kali dia menggunakan dan ditangkap? Artinya dia dalam kondisi sebagai orang yang ketergantungan. Kalau, kita membawa dia ke penjara, kita menghukum dia untuk kedua kali. Kita menjadikan korban untuk kedua kalinya," katanya usai memberikan kuliah umum di Universitas Udayana, Kabupaten Badung, Bali, Selasa (15/7).

Menanggapi BNN,  Anggota Komisi III DPR, Rudianto Lallo mengingatkan UU Narkotika masih mengizinkan untuk aparat untuk menjerat dan menghukum para pengguna narkotika.

Menurut Lallo, hukum tak boleh diskriminatif dan karenanya pernyataan Kepala BNN harus diperjelas. Dia mengaku khawatir pernyataan itu ditafsirkan para pengguna narkoba akan kebal hukum.

"Saya kira ini harus diberi pemahaman, supaya nanti kesannya kebal hukum. Nanti lama-lama masyarakat menggunakan, karena dikira enggak ada sanksi bahaya juga, itu di satu sisi bahaya juga," kata Lallo, saat dihubungi, Kamis (17/7).

Rehabilitasi tak pandang bulu

Ditanya terkait hal tersebut, Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra mengingatkan agar upaya rehabilitasi terhadap pengguna narkoba tak pandang bulu hanya untuk kalangan artis. Sebab, rehabilitasi menurut dia telah diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Pasal 54 menyebutkan, 'pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial'. Sehingga, kata Azmi, aparat tak perlu melakukan upaya paksa baik itu ditangkap, dituntut, diadili apalagi dihukum penjara.

"Penyalah guna narkotika tidak punya niat jahat, dia membutuhkan narkotika kemudian membeli narkotika karena tuntutan fisik dan psikis dari sakit yang dideritanya," kata Azmi saat dihubungi, Kamis (17/7).

Meski telah diatur lewat undang-undang, faktanya penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) saat ini masih didominasi narapidana kasus narkotika.

Data Kementerian Hukum (Kemenkum) pada 2024, 52 persen penghuni Lapas saat ini merupakan narapidana kasus narkotika, dan dari jumlah tersebut 80 persen di antaranya merupakan pengguna.

Lalu, apa alasan korban penyalahgunaan narkoba masih dihukum penjara?

Menurut Azmi, penyalahgunaan narkoba umumnya dijerat pasal 127 UU Narkotika. Pasal itu menyebutkan, penyalahguna narkotika untuk diri sendiri bisa dijerat pidana maksimal 4 tahun. Namun, mereka bisa dialihkan untuk menjalani rehabilitasi.

"Model ini lebih tepat termasuk terus memperkuat upaya guna langkah langkah pencegahan penanganan pemberantasan narkotika," katanya.

Penyanyi Fariz RM beraksi pada Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2020 di Jakarta, Sabtu (29/2/2020). Fariz RM membawakan sejumlah lagu seperti Nada Kasih, Dunia di Batas Senja, dan Nada Kasih. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/aww.Musisi senior Fariz RM menjadi salah satu korban penggunaan narkoba yang dicontohkan Kepala BNN Marthinus Hukom saat menjelaskan larangannya menangkap pengguna narkoba, dan mendorong rehabilitasi. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Pasal tumpang tindih

Namun, pasal itu selama ini dinilai tumpang tindih. Pertama, tak ada upaya asesmen sejak awal. Asesmen diperlukan agar pengguna narkoba cukup menjalani rehabilitasi tanpa dihukum penjara. Asesmen hanya bisa dilakukan oleh BNN, dokter, penyidik, dan jaksa.

Kedua, upaya rehabilitasi sulit diterapkan karena bertentangan dengan Pasal 112 untuk menjerat pengedar. Sehingga, meski hanya digunakan untuk pribadi (pasal 54), pengguna sering dijerat dengan Pasal 112 karena dituduh sebagai pengedar.

Anggota Komisi III DPR, Soedeson Tandra memahami kesulitan penggunaan pasal 112 dalam kasus narkoba. Sebab, kata Soedeson, pada faktanya para pengedar narkoba kerap mengaku sebagi pengguna.

Oleh karena itu, dia menilai, pelaksanaan asesmen tetap harus dilakukan dengan hati-hati. Dia tak sependapat jika pengguna narkoba tak bisa diamankan atau ditangkap. Penangkapan tetap perlu dilakukan namun harus dibarengi dengan asesmen yang ketat.

"Mungkin disalahartikan, bahwa jika ada barang bukti narkoba itu, jangan ditangkap, enggak begitu. Jadi, ada narkoba semua orang dibawa kan, nah mereka ada diteliti dulu, ini orang pengguna atau pengedar," kata Soedeson.

"Yang namanya manusia itu, pengedar mengaku pengguna," imbuhnya.

Sehingga, kata Soedeson, pernyataan Kepala BNN perlu ditafsirkan dan ditujukan hanya untuk pengguna, bukan pengedar. Jika demikian, dia mendukung pelaksanaan rehabilitasi untuk pengguna.

Menurut Soedeson, pengguna merupakan korban pengedar sehingga negara harus menolong mereka. Di sisi lain, dia mengamini tingginya penghuni lapas dari narapidana kasus narkotika.

Soedeson mengaku khawatir, hukuman penjara bagi pengguna justru berdampak buruk bagi mereka. Sebab, dalam beberapa kasus, pengguna yang dipenjara biasanya menjadi pengedar setelah bebas.

"Nah kalau mereka masuk penjara, mereka sekolah. Keluarnya yang dulunya korban, bisa saja menjadi pengedar," kata Soedeson.

Benahi praktik rehabilitasi

Sementara itu aktivis hukum dari AKSI Keadilan Indonesia, Totok Yuliyanto, mengaku pihaknya bisa menyepakati pernyataan Kepala BNN Marthinus Hukom yang melarang anggotanya untuk menangkap pengguna narkoba.

"Kami setuju pengguna narkotika tidak perlu ditangkap dan diproses hukum," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Kamis lalu.

Totok mengatakan pihaknya menolak pendekatan pemidanaan dan mendukung pendekatan kesehatan terhadap pengguna narkotika.

Dia menyebut larangan penangkapan terhadap pengguna narkoba dari kepala BNN itu harus dilaksanakan di tingkat bawah, termasuk instansi kepolisian.

"Dengan mekanisme dan alur yang jelas, khususnya ketika mereka tidak diproses hukum dan dibawa ke tempat rehabiltasi," ucap dia.

Kendati demikian, Totok mengingatkan bahwa praktik rehabilitasi di Indonesia juga harus dibenahi. Sebab, sering kali proses rehabilitasi tidak disesuaikan dengan kebutuhan, keinginan dan kemampuan pengguna narkotika.

"Sehingga seringkali terasa seperti pemidanaan dan dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk mencari keuntungan," tutur Totok.

Sebelumnya, Kepala BNN Komjen Marthinus Hukom melarang anggotanya untuk menangkap pengguna narkoba, termasuk dari kalangan artis. Marthinus mengatakan berdasarkan ketentuan Undang-undang Narkotika, pengguna narkoba harus menjalani rehabilitasi bukan pidana.

"Lho kan begini, jangankan artis, semua pengguna (narkoba) saya larang untuk ditangkap. Karena rezim Undang-undang kita mengatakan bahwa dibawa ke rehabilitasi," kata Marthinus usai memberikan kuliah umum di Universitas Udayana, Kabupaten Badung, Bali, Selasa (15/7).

Marthinus mengatakan di Indonesia ada 1.496 Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang merupakan pusat kesehatan atau lembaga rehabilitasi. Ia mengajak masyarakat yang memiliki keluarga pengguna narkoba untuk melaporkannya.

"Tidak diproses ya, tolong dicatat ya, tidak diproses. Kalau ada petugas penegak hukum yang coba-coba bermain memproses itu, dia berhadapan dengan hukum itu sendiri. Kan sudah diatur, lapor wajib diterima, lalu direhabilitasi tanpa proses hukum," ujarnya.

(thr/dal)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER