Menteri Kebudayaan Fadli Zon tetap akan melanjutkan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia meski sejumlah pihak meminta agar proyek tersebut dihentikan.
"Kemarin sudah saya jelaskan di DPR, penulisan ulang sejarah ini terus berlanjut dan kita melibatkan 130 para sejarawan, para ahli-ahli sejarah," kata Fadli Zon di Kabupaten Maros, Sulsel, Kamis (3/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Fadli Zon penulisan ulang sejarah akan diteruskan setelah selesai, kemudian dilanjutkan dengan uji publik.
"Jadi kita terus lanjutkan, nanti pada waktunya akan melakukan uji publik publik pada bulan ini juga," ujarnya.
Fadli menerangkan para penulis di proyek penulisan ulang sejarah ini berasal dari sejarawan 34 kampus di Indonesia.
"Untuk sekarang ini, kita tulis 10 bab, tapi tidak (secara) detail tentunya, termasuk dari temuan-temuan awal," ungkapnya.
Fadli Zon membeberkan bahwa bangsa Indonesia selama 26 tahun terakhir tidak pernah menuliskan sejarah, padahal itu sangat penting untuk masyarakat.
"Selama 26 tahun kita tidak menulis sejarah, padahal sejarah itu perlu. Kalau orang tidak menulis sejarah dari bangsanya, pasti akan kebingungan di tengah arus informasi global yang terjadi saat ini," kata dia.
Sebelumnya, Fraksi PKB dan PDIP meminta proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ditunda setelah menuai reaksi keras dari publik.
Salah satu keberatan dari PDIP, proyek sejarah di bawah Kementerian Kebudayaan akan dijadikan sebagai state denial on human right violation atau penyangkalan negara terhadap kekerasan kemanusiaan.
Sementara itu Fraksi PKB meminta Fadli Zon menunda proyek sejarah ini. Anggota Komisi X dari PKB Habib Syarief menyebut penundaan untuk meredam polemik di masyarakat.
Hal lain, Habib menilai proyek sejarah Kemenbud digarap tertutup. Ia bahkan tak bisa menemukan 100 penulis sejarah yang mengerjakan proyek itu.
Habib juga mengatakan waktu tujuh bulan untuk sebuah proyek sejarah nasional amat singkat. Selain itu, sikap PKB meminta menunda proyek sejarah Kemenbud juga berdasarkan aspirasi dari sejumlah organisasi perempuan, seperti Fatayat hingga Muslimat.
Menurut dia, mereka mengungkap keprihatinan dengan proyek penulisan ulang sejarah RI.
"Nah, itu menjadi pembicaraan sentral di organisasi-organisasi perempuan. Nampaknya, perlu ada satu kata-kata yang bisa memberikan kesejukan kepada perempuan Indonesia," kata Syarief.
Proyek sejarah Kemenbud juga memantik pro dan kontra di kalangan koalisi sipil pegiat HAM dan hak-hak perempuan, para akademisi dan sejarawan.
(mir/wis)