Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) membentang di empat provinsi, yaitu Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan dengan luas mencapai 1,4 Juta Ha.
Sebagai hutan tropis penting di dunia, TNKS merupakan carbon storage terbesar dan habitat bagi sejumlah populasi satwa langka seperti Harimau Sumatera, Gajah, Badak, Kijang dan lebih dari 372 jenis burung termasuk 16 jenis burung endemik.
Namun TNKS tak selalu tentang tegakan pohon yang menjulang dan yang tumbang dilibas buldoser. Beragam cerita manusia ada di dalamnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama 15 hari pada pertengahan Maret lalu, kami menempuh perjalanan ribuan kilometer merekam kompleksitas relasi manusia dan hutan dari berbagai prespektif. Mulai isu kesehatan, ekonomi, konflik berdarah sampai keadilan gender di sepanjang perbatasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat.
Kami mendatangi sejumlah desa di tiga provinsi di pulau Sumatera itu, yaitu Jambi, Sumatera Barat dan Bengkulu, menyimak cerita mereka yang dulu merambah kini menjaga kawasan. Perjalanan dimulai dari Provinsi Jambi.
Pagi itu menjadi hari yang ditunggu Fitriah dan belasan anggota koperasi kelompok tani perempuan Desa Muara Madras, Kecamatan Jangkat, Merangin Jambi. Pembagian hasil setoran kopi selama satu bulan.
Sejak paham cara bertanam, mengolah, dan memasarkan kopi lewat koperasi, harga kopi Fitriah menjadi mahal. Sebelum ini harga di pasar paling tinggi diserap Rp22 ribu per kilo. Kini, lewat koperasi Fitriah bisa mendapat harga paling tinggi mencapai Rp50 ribu per kilo.
Perolehan pagi itu berarti Fitriah akan menyisihkan separonya untuk dikirim ke anaknya yang berkuliah di Yogyakarta. "Kami gunakan penghasilannya untuk anak kami sekolah 2 orang. Yang 1 sudah tamat yang satu belum," katanya.
Kini Fitriah dan sebagian besar warga di Muara Madras lebih banyak memanfaatkan lahan yang awalnya terbengkalai di sekitar rumah. Fitriah berhimpun ke dalam Kelompok Tani Wanita (KWT) Muara Madras. Mereka belajar bersama mengolah lahan pertanian secara organik. Alih-alih membuka hutan lagi, kopi menjadi komoditas utama dan sayur mayur jadi sumber pendapatan tambahan.
Rose Andhina, pendamping KWT mengatakan, sejak tak lagi merambah dan fokus memanfaatkan lahan di sekitar rumah, kesejahteraan warga naik. Kelompok tani ini semacam koperasi yang membangun kolaborasi untuk kesejahteraan bersama dan kesetaraan. Melalui sekolah lapangan, warga ini didampingi fokus ke peningkatan produktifitas lahan kritis sehingga lebih produktif.
"Masyarakat meningkat secara ekonomi dan akibatnya tidak perlu rambah hutan selain itu juga manfaat kesehatannya masyarakat terbiasa masuk ke hutan ini tidak ada lagi interaksi dengan satwa liar," ujar Rose, Fasilitator Mitra Aksi, Lembaga yang sejak lama mengadvokasi masyarakat di perbatasan TNKS Jambi.
Rendahnya harga yang mendorong warga masuk hutan. Perambahan hutan berdampak pula pada rusaknya habitat satwa, termasuk satwa endemik Sumatera seperti harimau. Zurian Hadi, Ketua Kelompok Tani Desa Muara Dadras menuturkan, dulunya harimau kerap masuk kampung dan memangsa ternak warga. Sejak itu ia sadar, perambahan kawasan dan alih fungsi hutan membuat habitat satwa ikut rusak. Inilah satu di antara alasan mengapa warga tak lagi merambah hutan.
"Selain banjir tentunya. Sering hewan buas masuk ke desa itu banyak sekali akibat yang dirasakan masyarakat jadi sekarang masyarakat sadari akibat dari rambah hutan dan banyak manfaatkan lahan di sekitar rumah," katanya.
Tak hanya itu, perambahan kawasan juga menyebabkan merebaknya virus malaria. Bahkan sekitar lima tahun kawasan Pasar Mesurai, tak jauh dari Kecamatan Jangkat, pernah ditemukan kasus malaria jenis baru, varian knowlesi. Pasar mesurai menjadi salah satu daerah endemik malaria.
"Karena hutan kan masih dekat, nyamuk-nyamuk ini berkeliaran. Terus untuk yang di kebun sumber airnya itu di bak jadi ada jentik-jentik jadi perindukannya lebih banyak di situ. Dan rata-rata mereka nampung air hujan karena sungainya jauh," ungkap Eva Yanora, Tenaga medis di Puskesmas Pasar Masurai.
Eva saat dijumpai tengah mengunjungi rumah pasien penderita malaria yang baru sembuh. Hampir semua pasiennya adalah pekebun yang tinggal di kawasan yang dulunya hutan belantara. Warga desa merasakan betapa virus yang dibawa binatang, berpindah masuk ke tubuh mereka akibat aktivitas perambahan.
Marzon Apri, Kepala Desa Renah Pelaan Kecamatan Jangkat, Merangin Jambi tidak menyangkal leluhur hingga generasi setelahnya membuka kawasan yang kini ditetapkan sebagai TNKS. Namun sejak bencana silih berganti hingga konflik dengan satwa liar, masyarakat mulai was-was.
"Tidak boleh lagi masyarakat menumbang sembarangan. Kenapa? Takutnya kan bencana longsor. Kita mikir 10 tahun 20 tahun akan datang, anak cucu," kata Marzon di rumahnya.
Karenanya, hukum adat kembali diterapkan untuk mengikat siapa saja. Bagi pelanggar yang menebang pohon dalam kawasan, diganjar 20 kilo beras dan 1 ekor kambing. Namun bukan denda yang membuat mereka berat untuk melanggar. Rasa malulah yang menjaga prilaku mereka. Hukum adat bagi mereka jauh lebih berat ketimbang sanksi dari negara, sebab budaya malu masih terjaga di antara mereka.
"Hukum adat tidak ada namanya tebang pilih, beranak tiri beranak kandung itu tidak ada di hukum adat. Malu itu masyarakat kita kalau dihukum adat. Karena peraturan ini kan dibikin bersama," Marzon menambahkan.
![]() Ekspedisi TNKS |
Kini warga Desa Renah Pelaan berhasil swasembada beras dan pangan organik. Mereka menerapkan konsep ketahanan pangan. Sebagian skema penggarapan sawahnya melalui sistem komunal atau kekerabatan. Tak ada sawah dan hasil panennya yang dijual kecuali dalam keadaan mendesak.
Mereka juga mengembangkan pertanian organik untuk sayur mayur dan tanaman palawija. Dan perlahan-lahan warga pun tidak lagi ke hutan menerabas dan membabat TNKS.
Hasil pemetaan satelit lembaga World Wild Fund of Nature (WWF) menunjukkan sejak 1995 luasan hutan Sumatera konsisten menyusut. Dari 25 juta hektar di tahun itu menjadi 10 juta hektar saja pada 2016. Deforestasi didominasi perkebuan sawit, industri kayu, dan sebagian lain perambahan masyarakat.
Kami melaju ke arah barat menuju pedalaman Ranah Pemetik, Kabupaten Kerinci, Jambi. Di sini Kawasan telah dibuka warga bahkan jauh sebelum ditetapkan sebagai taman nasional. Nasir tokoh masyarakat setempat menuturkan, orang tuanya termasuk salah satu yang pertama membuka lahan pada 1950-an untuk pesawahan. Namun untuk dapat membuka hutan untuk areal persawahan haruslah mendapat izin dari adat,
"Secara adat itu disebut ajun arah, jadi yang daerah Kemantan diarahkan ke sini, depati ninik mamak mengarahkan untuk mencari lahan di sini," ujar Nasir.
Sampai pada penetapan kawasan taman nasional, warga tak lagi bisa membuka lahan di area taman nasional. Selain dilarang, mereka mulai mendapat pendampingan untuk menggagas ekonomi alternatif. Tujuannya agar tak lagi merambah namun bisa tetap sejahtera.
Erik, aktivis AKAR Network yang mendampingi warga mengatakan, masyarakat diajak bermitra, disediakan bibit kopi termasuk pelatihan, lalu kopi hasil panen warga ditampung dengan harga bagus.
"Sebenarnya ada beberapa syarat untuk bermitra. Pertama, lahan mereka harus di luar taman nasional. Kedua mereka harus mengikuti cara tanam kita," katanya.
Ujang, salah seorang petani sudah sekitar 4 tahun meninggalkan kawasan TNKS dan memilih bertanam kopi di luar kawasan. Dia mengaku biaya produksi dan biaya hidup menggarap di dalam kawasan sangat tinggi. Apalagi harus tinggal berminggu-minggu di dalamnya.
"Di sini kan hemat. Di sana stok beras satu karung belum tentu cukup, kebutuhan minyak dan sembakonya juga banyak," kata Ujang.
Sesungguhnya warga tak paham dampak pemanasan global yang ditimbulkan dari deforestasi. Namun pendekatan ekonomi lebih realistis untuk mengajak warga menghambat kerusakan hutan. Termasuk memberikan kesempatan mereka memulihkan lahan-lahan yang terlanjur dibuka, menjadi hutan kembali.
(asa/asa)