Adek Berry, Dua Dekade Memotret Bahaya

CNN Indonesia
Kamis, 04 Mei 2017 15:22 WIB
Selama 20 tahun terakhir, Adek Berry pergi ke berbagai penjuru Indonesia untuk mengabadikan peristiwa. Daerah berbahaya tak membuatnya gentar.
Sejak 1997 Adek Berry sudah menggeluti dunia fotografi dan bekerja di kantorb berita AFP. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Adek Berry terperanjat menyaksikan demikian banyak korban jiwa di sekelilingnya. Rumah-rumah rata dengan tanah dan tangis meledak di udara. Jogjakarta saat itu baru saja diguncang gempa berkekuatan 5,9 skala Richter, salah satu gempa terbesar di Indonesia dalam 15 tahun terakhir yang menewaskan ribuan orang.

Adek yang bekerja untuk AFP, kala itu jadi salah satu jurnalis foto yang paling cepat tiba di lokasi. Skala kerusakan akibat gempa tetap membuat Adek terkejut, meski ia sebenarnya sudah mengantongi pengalaman bertahun-tahun sebagai fotografer dan meliput banyak peristiwa. Di Jogja, Adek sempat melihat warga menggali kuburan massal untuk korban yang tewas.

Adek coba mengusir rasa keterkejutan itu dan mempertahankan sikap profesional. Di sana ia pun mendapatkan salah satu foto paling berkesan dalam kariernya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Aku jalan sampai ke sebuah desa. Orang-orang di jalan itu semuanya menunggu bantuan. Terus aku motret. Lagi mau motret, tiba-tiba mereka menangis meraung-raung dan fotonya itu luar biasa. Tanpa setting, tanpa aku mengharapkan foto itu. Fotonya bagus banget, merepresentasikan banget," ujarnya ketika berbincang dengan CNNIndonesia.com akhir pekan lalu.

Adek mengatakan proses penciptaan foto itu mengalir begitu saja. Hanya kesigapan yang diperlukan. Observasi dilakukan dengan mengamati keadaan sekeliling.

"Antara menghasilkan karya yang luar biasa dengan kita sendiri pun terguncang melihatnya. Dalam kondisi kerja, kita kan enggak sempat sedih, enggak dalam kondisi menunjukkan empati. Kita dituntut deadline secepat-cepatnya, antara humanisme dengan profesionalisme," kata Adek.

Salah satu foto Adek Berry yang memenangi penghargaan adalah ketika ia meliput bencana alam gempa di Jogjakarta. (AFP/Adek Berry)Salah satu foto Adek Berry yang memenangi penghargaan adalah ketika ia meliput bencana alam gempa di Jogjakarta. (AFP/Adek Berry)
Kamera Pemberian Kakak

Dunia fotografi sudah tak asing lagi sejak Adek duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Tapi karier sebagai jurnalis foto mulai ia geluti sejak 1997 silam. Bukan profesi yang mudah karena menyajikan serangkaian tantangan, mulai dari meliput daerah-daerah berbahaya hingga beban fisik kamera dan lensa berat yang harus ia bawa kemana-mana.

Tak memungkiri dunia fotografi identik dengan laki-laki, Adek berpendapat saat ini banyak perempuan yang tertarik dan serius menggelutinya. Adek juga menyebut sebagai fotografer perempuan dia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus. Ia merasakan, yang dinilai dari dirinya selama ini adalah profesionalisme dalam bekerja.

"Tidak sedikit perempuan yang mau sedikit lebih capai lagi dengan peralatan yang agak rempong. Kalau mereka memang punya passion di dunia jurnalistik dan ketika dijalani ternyata pada mampu, banyak yang menjadi suka. Banyak yang akhirnya jadi sangat serius. Ya salah satunya aku," kata Adek.

Perempuan yang memiliki hobi membaca ini mengaku bakat jurnalistiknya sudah mulai terlihat sejak SMP. Sejak duduk di bangku sekolah dasar Adek mengaku sudah gemar menulis, dan hobi ini berlanjut hingga SMP. Bahkan Adek sempat pernah menulis cerita fiksi dan masuk ke majalah nasional pada saat kelas 1 SMP.

Ketika tiba masanya untuk lebih serius lagi mempertimbangkan masa depan, Adek sempat merasa kebingungan. Ia kemudian memilih jurusan dokter gigi, mengikuti ketertarikannya pada bidang sains yang tumbuh semasa SMA.

Namun tidak sampai satu semester, Adek pindah jurusan ke pertanian. Adek mengaku tidak senang dengan sistem dan suasana kuliah di jurusan sebelumnya.

"Akhirnya aku ambil jurusan pertanian. Ngawur lagi, tapi justru kengawuran itu yang menyebabkan aku menemukan cinta sejati ini jurnalistik, fotografinya," ujarnya.

Perempuan kelahiran Curup, 14 September 1971 mulai serius belajar fotografi di Jember. Semua berawal dari kamera Yashica FX 3 pemberian kakaknya. Mulai dari belajar otodidak, Adek akhirnya ikut ke dalam sebuah klub fotografi dan sering mengikuti sharing tentang dunia itu.

Adek lalu mulai mencoba berbisnis lewat fotografi, mulai dari foto pernikahan dan foto wisuda.

"Dari situ akhirnya aku mulai mengerti kayaknya aku harus segera lulus (kuliah). Kalau enggak lulus, aku enggak bisa jadi apa yang aku mau. Akhirnya aku lulus. Wisuda pendadaran belum selesai, majalah Tiras buka. Aku kemudian mendaftar. Keterima, aku ke Jakarta. Di Tiras aku masuk sebagai reporter," tuturnya.

Profesi sebagai jurnalis bukannya tidak menggugah. Akan tetapi, Adek tetap ingin kembali ke cinta pertamanya yaitu fotografi. Gayung bersambut, saat itu kantor berita AFP membuka lowongan fotografer untuk ditempatkan di Istana Negara. Pendaftaran Adek kemudian diterima AFP.

"Jodohnya ya seperti itu, ngalir. Enggak terencana. Mana terbayang dulu mau kerja di kantor berita asing," ucapnya.

Menerobos Daerah Berbahaya

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
TOPIK TERKAIT
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER