Jakarta, CNN Indonesia -- Adek Berry terperanjat menyaksikan demikian banyak korban jiwa di sekelilingnya. Rumah-rumah rata dengan tanah dan tangis meledak di udara. Jogjakarta saat itu baru saja diguncang gempa berkekuatan 5,9 skala Richter, salah satu gempa terbesar di Indonesia dalam 15 tahun terakhir yang menewaskan ribuan orang.
Adek yang bekerja untuk AFP, kala itu jadi salah satu jurnalis foto yang paling cepat tiba di lokasi. Skala kerusakan akibat gempa tetap membuat Adek terkejut, meski ia sebenarnya sudah mengantongi pengalaman bertahun-tahun sebagai fotografer dan meliput banyak peristiwa. Di Jogja, Adek sempat melihat warga menggali kuburan massal untuk korban yang tewas.
Adek coba mengusir rasa keterkejutan itu dan mempertahankan sikap profesional. Di sana ia pun mendapatkan salah satu foto paling berkesan dalam kariernya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Aku jalan sampai ke sebuah desa. Orang-orang di jalan itu semuanya menunggu bantuan. Terus aku motret. Lagi mau motret, tiba-tiba mereka menangis meraung-raung dan fotonya itu luar biasa. Tanpa setting, tanpa aku mengharapkan foto itu. Fotonya bagus banget, merepresentasikan banget," ujarnya ketika berbincang dengan
CNNIndonesia.com akhir pekan lalu.
Adek mengatakan proses penciptaan foto itu mengalir begitu saja. Hanya kesigapan yang diperlukan. Observasi dilakukan dengan mengamati keadaan sekeliling.
"Antara menghasilkan karya yang luar biasa dengan kita sendiri pun terguncang melihatnya. Dalam kondisi kerja, kita kan enggak sempat sedih, enggak dalam kondisi menunjukkan empati. Kita dituntut
deadline secepat-cepatnya, antara humanisme dengan profesionalisme," kata Adek.
 Salah satu foto Adek Berry yang memenangi penghargaan adalah ketika ia meliput bencana alam gempa di Jogjakarta. (AFP/Adek Berry) |
Kamera Pemberian KakakDunia fotografi sudah tak asing lagi sejak Adek duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Tapi karier sebagai jurnalis foto mulai ia geluti sejak 1997 silam. Bukan profesi yang mudah karena menyajikan serangkaian tantangan, mulai dari meliput daerah-daerah berbahaya hingga beban fisik kamera dan lensa berat yang harus ia bawa kemana-mana.
Tak memungkiri dunia fotografi identik dengan laki-laki, Adek berpendapat saat ini banyak perempuan yang tertarik dan serius menggelutinya. Adek juga menyebut sebagai fotografer perempuan dia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus. Ia merasakan, yang dinilai dari dirinya selama ini adalah profesionalisme dalam bekerja.
"Tidak sedikit perempuan yang mau sedikit lebih capai lagi dengan peralatan yang agak
rempong. Kalau mereka memang punya
passion di dunia jurnalistik dan ketika dijalani ternyata pada mampu, banyak yang menjadi suka. Banyak yang akhirnya jadi sangat serius. Ya salah satunya aku," kata Adek.
Perempuan yang memiliki hobi membaca ini mengaku bakat jurnalistiknya sudah mulai terlihat sejak SMP. Sejak duduk di bangku sekolah dasar Adek mengaku sudah gemar menulis, dan hobi ini berlanjut hingga SMP. Bahkan Adek sempat pernah menulis cerita fiksi dan masuk ke majalah nasional pada saat kelas 1 SMP.
Ketika tiba masanya untuk lebih serius lagi mempertimbangkan masa depan, Adek sempat merasa kebingungan. Ia kemudian memilih jurusan dokter gigi, mengikuti ketertarikannya pada bidang sains yang tumbuh semasa SMA.
Namun tidak sampai satu semester, Adek pindah jurusan ke pertanian. Adek mengaku tidak senang dengan sistem dan suasana kuliah di jurusan sebelumnya.
"Akhirnya aku ambil jurusan pertanian. Ngawur lagi, tapi justru kengawuran itu yang menyebabkan aku menemukan cinta sejati ini jurnalistik, fotografinya," ujarnya.
Perempuan kelahiran Curup, 14 September 1971 mulai serius belajar fotografi di Jember. Semua berawal dari kamera Yashica FX 3 pemberian kakaknya. Mulai dari belajar otodidak, Adek akhirnya ikut ke dalam sebuah klub fotografi dan sering mengikuti sharing tentang dunia itu.
Adek lalu mulai mencoba berbisnis lewat fotografi, mulai dari foto pernikahan dan foto wisuda.
"Dari situ akhirnya aku mulai mengerti kayaknya aku harus segera lulus (kuliah). Kalau enggak lulus, aku enggak bisa jadi apa yang aku mau. Akhirnya aku lulus. Wisuda pendadaran belum selesai, majalah Tiras buka. Aku kemudian mendaftar. Keterima, aku ke Jakarta. Di Tiras aku masuk sebagai reporter," tuturnya.
Profesi sebagai jurnalis bukannya tidak menggugah. Akan tetapi, Adek tetap ingin kembali ke cinta pertamanya yaitu fotografi. Gayung bersambut, saat itu kantor berita AFP membuka lowongan fotografer untuk ditempatkan di Istana Negara. Pendaftaran Adek kemudian diterima AFP.
"Jodohnya ya seperti itu, ngalir. Enggak terencana. Mana terbayang dulu mau kerja di kantor berita asing," ucapnya.
Bekerja di sebuah kantor berita atau
wire, menurut Adek, punya tingkat kesulitan dan tantangan tersendiri. Selain mendapat tekanan yang lebih tinggi, Adek juga dituntut lebih efisien dalam banyak hal karena harus meliput peristiwa nasional dan internasional. Manajemen waktu yang baik juga jadi kewajiban.
Sebagai fotografer, Adek cukup sering meliput konflik atau perang. Di Indonesia, Adek pernah memotret konflik di Ambon, Timor-timor, Palu, dan Tentena. Sementara untuk konflik di luar negeri, Adek pernah meliput ke Pakistan dan tiga kali ke Afghanistan.
Meski dengan berbagai pengalaman menentang bahaya, ibu dua anak ini tetap mengutamakan keamanan saat meliput di daerah perang atau konflik. Ia juga selalu mengikuti
Standard Operation Procedure (SOP) setiap kali ditempatkan.
“Jangan sampai karena kita tidak memperhatikan keselamatan kita, kehadiran kita sebagai jurnalis di situ justru merepotkan aparat keamanan atau masyarakat. Padahal tujuan kita berada di situ adalah untuk melaporkan peristiwa dan keadaan yang ada di situ,” ucapnya.
"Jika kita
embeded (bergabung dengan satuan keamanan), rompi anti peluru dan helm menjadi barang yang wajib dipakai. Selain itu, kita juga harus patuh terhadap perintah dari komandan regu.”
"Kalau
embed, kita berada di dalam tim dan harus bekerja sama dengan tim, jadi kita enggak bisa sesuka hati mau meliput. Karena di situ ancaman paling tinggi adalah
road side bom serta bom bunuh diri. Ketika jalan, mereka akan pakai pendeteksi dan kita berada di belakang pendeteksi logam. Bukan di depan, atau di sampingnya. Sebisa mungkin enggak menempatkan diri kita di situasi bahaya yang enggak bisa kita atasi," ujar Adek.
 Adek Berry pernah meliput beberapa daerah konflik, mulai dari Ambon hingga Afghanistan. (AFP PHOTO / ADEK BERRY) |
Ada kalanya Adek menembus daerah-daerah berbahaya itu seorang diri tanpa mengikuti kesatuan tertentu. Ia membeberkan, dirinya tetap harus bekerja sama dengan kepala biro setempat atau fotografer lokal karena mereka yang lebih memahami situasi. Koordinasi jadi kewajiban mutlak.
Sebagai fotografer perempuan, tanggung jawab Adek tak sebatas pada pekerjaan saja tapi juga pada statusnya sebagai istri dan ibu. Adek menegaskan komunikasi menjadi hal yang penting baginya dan keluarga. Hal ini yang membuat suami maupun anak-anak Adek memahami profesi dan seluruh risiko yang hadir di balik titel sebagai jurnalis foto.
Untuk menyeimbangkan dua dunia tersebut, Adek mengaku akan meninggalkan atributnya sebagai fotografer saat berada di rumah atau bersama keluarga.
"Saat libur, aku punya anakku, punya mereka. Saat di rumah, aku bukan fotografer, aku bukan editor, aku adalah ibu rumah tangga yang juga mencuci, memasak, terus ngurus anak ya," tuturnya.
Meski sudah 20 tahun menjalani profesi sebagai fotografer, Adek mengaku masih banyak hal dari dunia fotografi dan foto jurnalistik yang masih ingin dipelajarinya.
"Kalau dibilang enggak ada capeknya enggak mungkin, dibilang enggak ada bosennya juga enggak mungkin, karena seperti aku bilang (fotografi) melakukan pekerjaan yang sama dan berulang. Tapi pada prinsipnya jurnalistik adalah menyampaikan pesan dan pesan itu bisa selalu berbeda-beda, kondisi meliput juga selalu berbeda-beda," ucapnya.
Salah satu yang membuat Adek kecanduan pada dunia fotografi, salah satunya, adalah karena foto merupakan karya individu. Ini berbeda dari karya video di televisi yang merupakan karya tim.
"Karyanya individu dalam satu foto. Yang nempel nama Adek Berry," ucapnya.
------
Tulisan ini diterbitkan dalam rangka merayakan World Press Freedom Day 2017. CNN Indonesia menerbitkan hasil wawancara dengan lima jurnalis foto berpengalaman Indonesia.