Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi, bikin China 'mengamuk' ketika menyinggung garis merah China soal Taiwan.
Beijing langsung menekan Jepang setelah Takaichi mengatakan negara Jepang bisa merespon militer jika Beijing coba ambil alih Taiwan.
Lihat Juga :![]() KILAS INTERNASIONAL Harga 300 Kg Zamrud Presiden Madagaskar sampai Gibran di KTT G20 Afsel |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Beijing, ucapan Takaichi menunjukkan Jepang tidak menghormati perubahan besar yang membuat China makin kuat, dan Jepang punya ambisi militer yang bisa menghambat kebangkitan China.
"Baru kali ini seorang pemimpin Jepang menunjukkan niat intervensi bersenjata ke Taiwan dan ancaman militer kepada China," tulis People's Daily, seperti dikutip CNN.
"Di balik itu, tampak upaya berbahaya kelompok sayap kanan Jepang untuk keluar dari pembatasan konstitusi pasifis dan mengejar posisi sebagai kekuatan militer," demikian laporan media tersebut.
Ketegangan hampir dua pekan ini menunjukkan kekhawatiran besar China ke perubahan sikap militer di Asia.
Terutama dalam sekutu Amerika Serikat yang meningkatkan belanja pertahanan dan kerja sama menghadapi kekuatan militer China yang naik.
Jepang menjadi sumber kecemasan terbesar bagi China karena pada abad ke-20, terdapat rekam jejak invasi, warga, dan kekejaman.
Dimana pasukan Jepang membunuh sebanyak 200.000 warga sipil tak bersenjata serta menyiksa puluhan ribu perempuan dan anak perempuan.
Para pemimpin Jepang sebelumnya menghindari pembahasan Taiwan dalam konteks respon militer.
Tetapi para politisi di partai Takaichi, semakin waspada ke implikasi bagi Tokyo jika Beijing menyerang Taiwan.
Kini Takaichi, mengambil langkah untuk berbicara terus terang tentang isu Taiwan.
Ia juga menyerukan hubungan keamanan dengan AS dan bergerak untuk mempercepat pembangunan pertahanan negara.
Menurut akun media sosial terhubung dengan militer Tiongkok, Beijing melihat upaya itu berisiko melihat hantu militerisme muncul untuk menimbulkan bencana di dunia.
Tiongkok memandang pengambilalihan Taiwan harus diselesaikannya pada pertengahan abad ini.
Jika Beijing memutuskan harus dicapai dengan kekerasan, maka hal ini akan menjadi sangat rumit karena Jepang yang lebih kuat.
Menurut Direktur Institut Urusan Internasional di Universitas Renmin di Beijing, pernyataan Takaichi disimpulkan sebagai "orang yang salah, membicarakan hal yang salah" pada "waktu yang salah."
Meskipun awal minggu ini, Tokyo mengirimkan utusan ke Beijing untuk meredakan konflik, namun Beijing belum menunjukkan akan mengurangi banjir retorikanya.
Mereka akan mendesak Tokyo untuk menarik kembali komentar Takaichi.
(rnp/bac)