Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan, Amerika Serikat telah memberi tahu Moskow melalui jalur diplomatik bahwa mereka sedang meninjau usulan Presiden Vladimir Putin untuk mempertahankan pembatasan senjata nuklir yang diatur dalam New Strategic Arms Reduction Treaty (New START), meski perjanjian itu dijadwalkan berakhir pada Februari 2026.
"Sejauh ini belum ada tanggapan substantif dari Washington. Kami diberi tahu melalui jalur diplomatik bahwa 'isu ini sedang dipertimbangkan'," kata Lavrov dalam wawancara dengan kantor berita RIA Novosti, mengutip Reuters.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, Presiden Putin menyatakan bahwa Rusia siap tetap mematuhi batasan dalam perjanjian New START selama satu tahun setelah masa berlakunya habis, dengan syarat Amerika Serikat melakukan hal yang sama.
New START, yang ditandatangani pada 2010, merupakan salah satu dari sedikit perjanjian pengendalian senjata nuklir yang masih tersisa antara kedua negara. Perjanjian ini membatasi jumlah hulu ledak nuklir strategis yang dapat dikerahkan masing-masing pihak hingga 1.550 unit, serta menetapkan batasan pada peluncur dan pembom strategis.
Namun dalam beberapa bulan terakhir, ketegangan antara Moskow dan Washington soal isu nuklir kembali meningkat. Pada akhir Oktober, Putin mengumumkan keberhasilan uji coba rudal jelajah bertenaga nuklir Burevestnik, yang ia sebut sebagai "senjata unik yang tidak dimiliki negara mana pun."
Pernyataan itu memicu reaksi dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang menegaskan, "Saya tahu kami memiliki kapal selam nuklir, yang terbaik di dunia, tepat di dekat wilayah mereka."
Beberapa hari kemudian, Putin kembali mengumumkan keberhasilan uji coba drone bawah laut bertenaga nuklir Poseidon yang diklaimnya "tak tertandingi dalam kecepatan dan kedalaman" serta "mustahil untuk dicegat."
Sebagai tanggapan, Trump menginstruksikan dimulainya kembali uji coba senjata nuklir di Amerika Serikat "dengan dasar yang setara" dengan Rusia dan China.
Pernyataan Trump itu segera menimbulkan kehebohan di media dan kalangan politik di kedua negara. Beberapa pejabat pemerintahan AS kemudian berupaya menenangkan situasi, dengan menyatakan bahwa tidak akan ada ledakan nuklir berskala penuh, melainkan hanya uji non-kritis.
Lihat Juga : |
Namun dalam wawancara dengan program 60 Minutes pada 31 Oktober, Trump menegaskan kembali bahwa Amerika Serikat akan melakukan pengujian seperti "negara-negara lain," sambil menuduh Rusia dan China telah melakukan uji coba nuklir bawah tanah secara rahasia.
"Negara-negara itu melakukan uji bawah tanah yang tidak diketahui publik. Kami akan melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan," kata Trump ketika ditanya apakah Amerika Serikat akan mulai meledakkan senjata nuklir untuk pengujian.
Meski begitu, retorika nuklir antara kedua pemimpin terus berlanjut. Pada awal November, Putin memimpin rapat Dewan Keamanan Rusia untuk membahas kemungkinan pelaksanaan uji coba nuklir di negaranya.
Dalam rapat tersebut, Menteri Pertahanan Andrey Belousov mengusulkan agar uji coba segera dilakukan, sementara Direktur Dinas Keamanan Federal (FSB) Alexander Bortnikov menyarankan agar Rusia terlebih dahulu menunggu langkah nyata dari Amerika Serikat.
(tis/tis)