Inggris adalah salah satu negara yang paling bertanggungjawab terhadap terbentuknya Israel.
Lewat Deklarasi Balfour tahun 1917, Inggris menyatakan pembentukan tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Pernyataan ini tertuang dalam surat tertanggal 2 November 1917, dari Arthur James Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris, kepada Lionel Walter Rothschild, Baron Rothschild ke-2, pemimpin komunitas Yahudi-Inggris.
Latar belakang deklarasi ini diupayakan secara berkelanjutan oleh Chaim Weizmann dan Nahum Sokolow, para pemimpin Zionis di London.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari Ensiklopedia Britannica, deklarasi tersebut secara khusus menetapkan bahwa tidak boleh ada tindakan yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina.
Sejak saat itu, imigrasi Yahudi ke wilayah tersebut meningkat, dan ketegangan antara orang Arab dan Yahudi pun meningkat. Puncaknya pada bulan April 1947, setelah kelelahan akibat Perang Dunia II dan semakin bertekad untuk menarik diri dari kawasan Timur Tengah, Britania Raya merujuk masalah Palestina ke PBB.
Untuk menyelidiki tindakan yang tepat, PBB membentuk Komite Khusus PBB untuk Palestina (UNSCOP), sebuah komite penyelidikan yang beranggotakan 11 negara.
Akhirnya, UNSCOP menyampaikan dua proposal: proposal mayoritas, yang merekomendasikan dua negara terpisah untuk bergabung secara ekonomi, dan proposal minoritas, yang mendukung pembentukan satu negara binasional yang terdiri dari wilayah otonom Yahudi dan Palestina. Komunitas Yahudi menyetujui proposal pertama, sementara orang Arab menentang keduanya.
Usulan pembagian Palestina, yang didasarkan pada versi modifikasi laporan mayoritas UNSCOP, diajukan untuk pemungutan suara Majelis Umum pada tanggal 29 November 1947. Nasib usulan tersebut awalnya tidak pasti, tetapi, setelah periode lobi yang gencar oleh kelompok dan individu pro-Yahudi, resolusi tersebut disahkan dengan 33 suara mendukung, 13 suara menentang, dan 10 suara abstain.
Setelah pertempuran yang memakan banyak korban nyawa, yang puncaknya agresi Israel di Gaza yang telah menewaskan lebih dari 60 ribu orang tak berdosa, Inggris mengakui keberadaan negara Palestina Minggu (21/9). Hal itu disampaikan Perdana Menteri Inggris Keir Stamer di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Padahal sebelum ada Israel, Palestina sudah eksis terlebih dahulu.
Inggris pun memperbarui peta wilayah Palestina, dalam pembaruan itu, pemerintah mengganti nama Palestina dari sebelumnya "Wilayah Palestina yang Diduduki" menjadi "Palestina".
Wilayah Palestina dalam peta baru Inggris ini mencakup kawasan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Pembaruan ini sendiri dapat dilihat di laman travel advice atau imbauan perjalanan dari Kementerian Luar Negeri Inggris.
Inggris bahkan secara resmi telah memasukkan nama Palestina dalam indeks negara-negara di situs tersebut.
"Halaman ini telah diperbarui dari 'Wilayah Palestina yang Diduduki' menjadi 'Palestina'," demikian keterangan laman tersebut, seperti dikutip Anadolu Agency.
Bahkan Palestina kini resmi membuka kedutaan besar (kedubes) di London. Mengutip dari AFP, bangunan yang sebelumnya kantor misi diplomatik, akhirnya diresmikan menjadi kedubes pada Senin (22/9) setelah pengakuan sebagai negara tersebut. Dengan demikian, setelah lebih dari seabad, Palestina kini diakui sebagai negara berdaulat.
(imf/bac)