Kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Tibet pada Agustus lalu dalam rangka memperingati berdirinya Daerah Otonomi Tibet (TAR) menuai kritik dari komunitas Tibet di seluruh dunia.
Mereka menolak klaim Beijing bahwa Tibet adalah bagian dari China, dan menilai kunjungan tersebut justru mencerminkan ketidakamanan serta kurangnya kepercayaan diri pemerintah China, meski media resmi berusaha menggambarkannya sebagai simbol stabilitas dan kemajuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pidatonya yang dikutip media China, Xi menekankan bahwa "untuk mengatur, menstabilkan, dan mengembangkan Tibet, yang utama adalah menjaga stabilitas politik, sosial, kesatuan etnis, dan harmoni agama. Mengelola urusan Tibet harus selalu berpegang pada kepemimpinan partai."
Sementara itu, pejabat senior Partai Komunis China (PKC), Wang Huning, menyebut Tibet mengalami "periode terbaik pembangunan" di bawah kepemimpinan Xi, meski ia mengecam upaya yang disebutnya ingin memisahkan Tibet dari daratan China.
Xi juga mendorong agar Buddhisme Tibet disesuaikan dengan sistem sosialisme China dan meminta pejabat lokal mendorong masyarakat Tibet untuk menggunakan bahasa Mandarin standar. Kebijakan itu ditolak oleh masyarakat Tibet.
"Kunjungan Xi Jinping seharusnya menghormati hak-hak rakyat Tibet, bukan menunjukkan kontrol represif China," ujar Tenzin Lekshey, juru bicara Administrasi Tibet Pusat (CTA).
Sejak invasi China pada 1951, Tibet mengalami kampanye sistematis Sinisasi, termasuk pembatasan praktik agama dan budaya, serta penindasan politik untuk memperkuat kekuasaan Beijing. Menjelang perayaan di ibu kota Lhasa, kelompok advokasi International Campaign for Tibet (ICT) melaporkan adanya peningkatan pemeriksaan keamanan, penahanan, dan blokade.
"Perayaan yang diatur negara ini berlangsung di bawah pengawasan ketat aparat, demi mencitrakan stabilitas dan harmoni," tulis ICT.
Namgyal Choedup, perwakilan Kantor Tibet di Washington, menyebut Tibet "pada dasarnya adalah wilayah yang mungkin paling diawasi di seluruh China." Ia menilai perayaan 60 tahun TAR di Lhasa hanya menegaskan lemahnya legitimasi Beijing, baik secara sejarah maupun popularitas.
Menurut Presiden ICT Tencho Gyatso, perayaan itu justru memperlihatkan ketidakamanan Beijing, karena jadwal resmi perayaan baru diumumkan 12 jam sebelumnya. "Delegasi besar yang dikirim ke Tibet untuk merayakan pembentukan TAR adalah tanda kecemasan mendalam, bukan kekuatan," ujarnya.
Komunitas diaspora Tibet menegaskan kembali penolakan terhadap klaim China atas wilayah mereka. Media diaspora Phayul menulis bahwa perayaan dilakukan di tengah pengekangan akses bagi jurnalis dan diplomat, sebagai upaya Beijing untuk menampilkan kendali penuh sementara rakyat Tibet terus menuntut kebebasan, otonomi sejati, dan kembalinya Dalai Lama.
Robert Barnett, peneliti di School of Oriental and African Studies, London, menilai kunjungan Xi yang kedua ke Tibet dalam lima tahun terakhir mencerminkan "ketakutan bahwa rakyat Tibet tetap tidak loyal meskipun puluhan tahun berada di bawah kekuasaan China." Menurutnya, upaya Sinisasi agama dan pendidikan politik massal lahir dari rasa takut itu.
ICT menyimpulkan bahwa kunjungan Xi hanya menampilkan kontras mencolok: narasi stabilitas versi Beijing berhadapan dengan represi keras yang dijalani rakyat Tibet sehari-hari.
"Pengawasan masif dan pengerahan aparat keamanan dalam skala besar menegaskan tekad China untuk mempertahankan ilusi harmoni sambil membungkam perbedaan suara," tulis laporan ICT.
(dna)