Alasan Prancis Baru Sekarang Mau Akui Negara Palestina

CNN Indonesia
Sabtu, 26 Jul 2025 11:10 WIB
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan niat negaranya yang secara resmi mengakui Negara Palestina dalam Sidang Umum PBB pada September mendatang.
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan niat negaranya yang secara resmi mengakui Negara Palestina dalam Sidang Umum PBB pada September mendatang. (Foto: AFP/LUDOVIC MARIN)
Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan niat negaranya yang secara resmi mengakui Negara Palestina dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September mendatang.

Langkah ini diyakini sebagai upaya untuk mendorong negara-negara lain mengikuti jejak serupa, di tengah meningkatnya keprihatinan global atas krisis kemanusiaan yang memburuk di Gaza.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengumuman ini disampaikan pada Kamis (24/7), bersamaan dengan rencana pertemuan para utusan internasional awal pekan depan di New York untuk membahas solusi dua negara bagi konflik Israel-Palestina. Prancis juga dijadwalkan menjadi tuan rumah bersama dalam sebuah pertemuan tingkat tinggi terkait Palestina sebelum Sidang Umum PBB dimulai.

Keputusan Macron muncul ketika Israel masih melancarkan agresi brutalnya ke Jalur Gaza Palestina sejak Oktober 2023 lalu, menyebabkan penderitaan luar biasa yang dialami warga Gaza.

Sejauh ini hampir 60 ribu warga Palestina tewas imbas agresi brutal Israel sejak Oktober 2023, sebuah kejahatan yang makin banyak negara kecam termasuk oleh negara Barat sekutu-sekutu Israel.

Namun apa alasan di balik keputusan Prancis soal kenapa baru sekarang mau mengakui negara Palestina setelah selalu didorong komunitas internasional untuk melakukan langkah serupa selama ini?

Menurut mantan duta besar Prancis untuk Israel, Gerard Araud, perubahan sikap yang signifikan dari negaranya ini mungkin karena situasi yang makin darurat, terutama melihat krisis kelaparan yang makin parah mengancam warga Gaza.

"Mungkin rasa urgensi yang mendorong Presiden untuk bertindak sendiri," ujar Gerard Araud, mantan duta besar Prancis untuk Israel mengutip CNA.

Tak hanya karena faktor kemanusiaan, Macron juga diyakini terdesak oleh dinamika politik dalam negeri.

Menurut David Khalfa dari Jean Jaures Foundation, pernyataan kontroversial dari sejumlah menteri Israel mengenai Gaza serta tensi sosial di Prancis ikut berperan dalam keputusan tersebut. Sebab, Prancis merupakan rumah bagi komunitas Muslim terbesar di Uni Eropa dan salah satu komunitas Yahudi terbesar di luar Israel dan Amerika Serikat.

Prancis sendiri memang telah lama mendukung solusi dua negara, Palestina yang merdeka hidup berdampingan secara damai dengan Israel. Macron sempat mengusulkan agar pengakuan terhadap Palestina dilakukan secara terkoordinasi, idealnya bersamaan dengan normalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel.

Namun ketika pendekatan itu menemui jalan buntu, Macron memutuskan melangkah sendiri. Ia berharap langkah tersebut menciptakan momentum baru menjelang forum global di New York.

"Ide dasarnya adalah menggunakan waktu sebulan lebih ini untuk menggalang dukungan negara lain demi pengakuan bersama di PBB," jelas Amelie Ferey dari Institut Hubungan Internasional Prancis.

Ia menyebut Inggris dan Kanada sebagai negara yang berpotensi mengikuti langkah Prancis.

Akankah berhasil?

Pada awal pekan ini, Prancis, Inggris, dan Kanada termasuk di antara 25 negara yang menyerukan penghentian perang di Gaza. Mereka menilai penderitaan warga sipil telah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan.

Di Inggris, Perdana Menteri Keir Starmer menghadapi tekanan dari dalam Partai Buruh agar mengambil sikap lebih tegas.

"Ia ingin bertindak bersama negara lain dan menjadikan pengakuan terhadap Palestina sebagai kartu tawar dalam negosiasi gencatan senjata," ujar Mujtaba Rahman dari Eurasia Group.

Namun, langkah itu tidak mudah. Starmer tampaknya berhati-hati untuk tidak menyinggung Amerika Serikat, terutama menjelang kedatangan Presiden Donald Trump ke Skotlandia di tengah pembicaraan dagang AS-Inggris yang belum tuntas.

Meskipun Prancis tidak memiliki pengaruh langsung dalam konflik, negara itu ingin berperan sentral dalam diplomasi pasca-perang bersama Arab Saudi.

Menurut Camille Lons dari Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa, Paris dan Riyadh tengah menyusun peta jalan yang mencakup upaya mengisolasi dan melucuti senjata Hamas, menggelar pemilu Palestina pada 2026, serta membentuk pemerintahan teknokrat.

Rencana itu juga mempertimbangkan kehadiran pasukan penjaga perdamaian PBB yang bisa melibatkan personel dari Mesir. Tujuannya adalah membangun dukungan kawasan untuk menyingkirkan Hamas, termasuk dari negara-negara seperti Qatar yang memiliki hubungan dekat dengan kelompok tersebut.

Meski ambisi Prancis terdengar menjanjikan, sejumlah analis mempertanyakan realisme inisiatif ini.

"Semuanya masih jauh dari kenyataan," kata Lons.

Ferey menambahkan, pemerintahan Israel saat ini tampak sama sekali menolak konsep negara Palestina. Setelah hampir dua tahun sejak serangan Hamas pada Oktober 2023, Gaza terus dihantam bombardir Israel, sementara pemukiman Yahudi di Tepi Barat terus diperluas.

Hingga kini, sekitar 500 ribu warga Israel tinggal di wilayah Tepi Barat yang dianggap ilegal menurut hukum internasional, bersama tiga juta warga Palestina. Di Yerusalem Timur yang dianeksasi, terdapat sekitar 200 ribu pemukim Yahudi, yang semakin mempersulit kemungkinan pembagian wilayah secara adil.

David Khalfa menyatakan, selama Benjamin Netanyahu masih menjabat sebagai Perdana Menteri Israel dan dituduh memperpanjang perang demi kelangsungan politiknya, normalisasi hubungan dengan Arab Saudi juga akan sulit terwujud.

(tst/rds)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER