Demon Slayer The Movie: Infinity Castle sukses menjadi pembuka yang meyakinkan dari trilogi penutup saga anime Kimetsu no Yaiba. Torehan impresif ini tercapai berkat cerita, visual, hingga scoring yang solid selama 2,5 jam.
Infinity Castle hadir dengan memikul ekspektasi menjulang. Posisinya begitu krusial dalam saga Kimetsu no Yaiba karena menjadi arc terakhir manga ikonis tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertaruhan semakin berlipat karena Ufotable, studio animasi di balik Demon Slayer, memilih mengadaptasi arc manga penutup itu dalam format film alih-alih serial.
Keputusan itu membuat film pertama bertajuk Part 1: Akaza Returns harus mengemban tugas tambahan. Ia tidak sedang berdiri sebagai film solo, tetapi harus menggambarkan seberapa apik kualitas trilogi yang akan ditawarkan.
Strategi Ufotable ternyata berhasil. Setelah 155 menit duduk di bioskop, saya mengakui Demon Slayer: Infinity Castle Part 1 dikaruniai berbagai aspek unggulan sebagai pembuka trilogi yang menjanjikan.
Studio animasi itu paham betul bahwa Demon Slayer punya potensi besar untuk dieksplorasi sejauh mungkin. Mereka juga dibekali banyak pengalaman menyajikan cerita Tanjiro Kamada cs dalam format layar kaca hingga layar lebar.
![]() |
Kemewahan ini membuat Infinity Castle Part 1 tidak hanya sanggup mengungguli film anime kebanyakan, tetapi juga melampaui capaian-capaian Demon Slayer pada arc atau musim terdahulu.
Poin penting yang menegaskan kecakapan itu tampak dari cara animator menuturkan cerita dengan Infinity Castle sebagai satu-satunya latar utama.
Plot film ini mengisahkan Korps Pembasmi Iblis dan Hashira--pendekar terkuat korps tersebut--dijebak Raja Iblis Muzan Kibutsuji di markasnya yang bernama Infinity Castle.
Skenario itu sebenarnya berisiko membatasi eksplorasi visual. Namun, imajinasi kreator di bawah arahan sutradara Haruo Sotozaki itu ternyata sama tak terbatasnya dengan kastil iblis tersebut.
Ia mampu memanfaatkan kastil itu menjadi medan tempur yang dinamis dengan segala perubahan bentuk dan komposisi warnanya. Kastil itu juga dikerjakan dengan teliti hingga setiap arsitektur bangunannya tak membuat bosan.
Infinity Castle Part 1 kemudian menampilkan tiga pertempuran yang melibatkan pendekar elite dengan Iblis Bulan Atas: Shinobu Kocho melawan Doma, Zenitsu lawan Kaigaku, serta Tanjiro Kamada bersama Giyu Tomioka versus Akaza.
![]() |
Ketiga pertempuran itu ditampilkan dalam tiga babak yang terpisah dan cenderung tak saling bertindihan. Gaya ini sejujurnya menyebabkan Infinity Castle agak seperti kompilasi tiga cerita.
Namun, sutradara sanggup menjahit ketiga kepingan cerita itu agar bertahan di benang merah yang sama: membunuh Muzan dan menumpas semua iblis dari muka Bumi.
Infinity Castle juga masih memakai sentuhan-sentuhan khas anime, seperti kilas balik cerita di tengah pertempuran sengit. Meski awalnya membuat kagok, adegan flashback itu penting untuk memperkaya cerita.
Bagi dua pertempuran pembuka (Shinobu vs Doma dan Zenitzu vs Kaigaku), kilas balik itu mempertebal lapisan cerita sehingga adegan laganya tidak terasa hambar.
Babak kilas balik itu menjadi semakin penting untuk suguhan utama Demon Slayer: Infinity Castle Part 1 yang mempertemukan kembali Tanjiro Kamado dengan Akaza.
Pertarungan itu mengeksplorasi lebih jauh latar belakang Tanjiro yang kini tandem dengan Giyu. Namun, bagi saya, sorotan utama tertuju kepada Akaza dan cerita masa lalunya.
Latar belakang Akaza sebelum menjadi Iblis Bulan Atas Tiga dituturkan secara mendalam. Cerita itu menghasilkan empati hingga terasa sulit untuk menghakimi Akaza semasa masih menjadi manusia.
Kehidupan iblis yang dulunya hanya seorang pemuda malang bernama Hakuji itu berakhir dengan konklusi yang sarat emosi. Bagian ini rasanya menjadi kekuatan utama Infinity Castle Part 1 dari segi cerita.
Tiga pertarungan intens dalam film ini tentu saja disajikan dengan suguhan visual megah. Ufotable tidak hanya memikirkan keindahan komposisi warna, tetapi juga koreografi dari setiap adegan laga.
Penonton lalu semakin dimanjakan dengan scoring musik yang menderu intens di setiap adegan laga. Racikan musik ini ikut menjaga intensitas cerita sehingga tetap panas sejak awal hingga akhir.
Kombinasi cerita, visual, dan musik itu akhirnya mampu menciptakan satu kesan penting yang menggambarkan Infinity Castle: kegentingan. Keberhasilan ini sangat krusial sebelum saga tersebut memasuki dua babak pemungkas.
Jika ambisi ini terus dirawat hingga dua film mendatang, maka Demon Slayer berpotensi meninggalkan pengalaman sinematik yang sangat berkesan bagi semua penggemarnya.
(end)