Panggung Kafe Beri Musisi Banyak Pelajaran Berharga

M. Andika Putra | CNN Indonesia
Minggu, 24 Jul 2016 11:15 WIB
Banyak musisi yang kariernya berakhir di panggung kafe, tapi tidak sedikit yang berhasil memperjuangkan idealismenya.
Maliq & D'Essentials, band yang mengawali kariernya dari panggung kafe. (Dok. Maliq & D'Essentials/Facebook)
Jakarta, CNN Indonesia -- Musik bisa didengarkan oleh kapan saja dan di mana saja. Mendengarkan musik secara langsung atau lewat rekaman tak jadi masalah, selama itu sesuai dengan keinginan pendengarnya.

Tidak hanya konser, kafe juga sering dijadikan tempat tujuan untuk mendengarkan musik.

Kafe yang menyuguhkan penampilan penyanyi atau band bisa dengan mudah ditemui di kota-kota besar, semacam Jakarta, Bandung, Surabaya hingga Medan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aliran musiknya pun beragam, mulai dari dangdut hingga jazz.

Banyak yang masih menganggap kalau musisi kafe hanyalah sekedar pelengkap suasana, untuk menemani pengunjung menyantap hidangan.

Padahal, persaingan dalam industri itu sangatlah ketat.

Banyak musisi yang kariernya berakhir sebatas di panggung kafe, tapi tidak sedikit yang berhasil memperjuangkan idealismenya, lalu sukses di panggung besar.

Ikut Arus Tapi Tidak Tenggelam

Maliq & D' Essentials dan The Groove merupakan band besar yang diketahui mengawali karier musiknya dari kafe.

Sama seperti musisi kafe lainnya, mereka juga mengalami pahit dan manisnya meniti karier dari sana.

Vokalis Maliq, Indah Wisnuwardhana, mengatakan kalau panggung kafe memang menjadi tempat terbaik untuk sebuah band baru yang sedang ingin meniti karier di industri musik.

Di panggung kafe, Indah menjelaskan, sebuah band bisa terus mengasah kemampuan dan mengenal medan pasar yang dituju.

Maliq mengawali karier dengan tampil di kafe atas saran dari Eki Puradiredja, personel Humania, yang merupakan paman dari Angga Puradiredja (vokal) dan Widi Puradiredja (drum).

"Selain dua alasan di atas, Eki juga mengatakan kalau dengan tampil di kafe, Maliq--yang baru terbentuk pada 2002, bisa melatih kekompakan antar sesama personelnya," kata Indah saat diwawancarai oleh CNNIndonesia.com pada Kamis (21/7).

Pengalaman Maliq mengawali karier di panggung kafe tak jauh berbeda dengan The Groove.

Vokalis The Groove, Reza Hernanza, menjelaskan kalau panggung kafe berhasil mempertemukannya dengan personel yang lain.

Dengan semangat yang sama, mereka lalu membentuk band bernama Odyssey, yang lalu berganti nama menjadi The Groove.

"Masing-masing personel sudah menjadi musisi kafe, tapi baru sepakat membentuk The Groove pada 1997. Bisa dibilang, panggung kafe menjadi batu loncatan kami," ujar Reza, saat diwawancarai oleh CNNIndonesia.com pada Jumat (22/7).

Pada awal era 2000-an, bisa tampil di panggung kafe bukan hal yang mudah. Indah mengatakan, saat itu banyak sekali musisi baru yang ingin meniti karier bermusiknya dari kafe.

Pada akhirnya, hanya musisi yang paling kreatiflah yang bisa tampil.

Kreatif yang dimaksud bukan hanya mahir bernyanyi atau memainkan alat musik, tapi juga menghibur pengunjung kafe yang datang untuk menikmati santapan.

"Dari situ Maliq selalu tampil dengan koreografi. Setidaknya, kalau tidak mengerti lagunya, mereka bisa ikut menggoyangkan badan. Mereka juga pasti butuh hiburan kan," kata Indah.

Kreatif yang dimaksud bukan hanya mahir bernyanyi atau memainkan alat musik, tapi juga menghibur pengunjung kafe yang datang untuk menikmati santapan.Indah Wisnuwardhana, Vokalis dari Maliq & D'Essentials.
Selain kreatifitas, pilihan lagu yang dibawakan juga menjadi alasan sebuah band bisa mempertahankan kekuasannya di panggung kafe.

Lagu-lagu Top 40 yang sedang sering diputar di radio dan televisi tentu saja sudah harus dikuasai.

Memang, mereka harus mengesampingkan idealisme dalam bermusik. Tapi mau tidak mau, itu semua dilakukan demi menghibur pengunjung.

Berbicara mengenai idealisme, Indah dengan bangga mengakui kalau saat tampil di kafe, Maliq masih memiliki "harga diri" untuk membawakan lagu-lagu yang bukan hits, tapi yang sesuai dengan konsep bandnya.

Satu atau dua kali, mereka menuruti permintaan pengunjung untuk membawakan lagu Top 40. Selebihnya, mereka membawakan lagu-lagu pop jazz.

"Kami ingin melatih telinga pengunjung, untuk menyukai hal yang kami suka juga. Awalnya, pengunjung lama tidak datang lagi, mungkin karena merasa aneh. Tapi lama kelamaan, pengunjung baru banyak yang berdatangan," ujar Indah sambil tersenyum.

Bila Maliq memilih untuk setia membawakan lagu pop jazz, The Groove memilih untuk menggubah kembali aransemen lagu Top 40 yang diminta dibawakan.

"Kami band acid jazz, tapi kami masih bisa maklum jika diminta untuk membawakan lagu Top 40. Kami lalu mengakalinya dengan menggubah aransemennya kembali," kata Reza.

[Gambas:Youtube]

Menjadi Penghibur yang Menghibur 

Tak hanya soal daftar lagu. Indah mengatakan, masih banyak lagi cobaan yang dialami musisi kafe, yang juga pernah dirasakan Maliq.

Walau kini penggemarnya ribuan, namun Indah dan teman-temannya pernah sama sekali tidak mendapat tepuk tangan saat tampil di kafe, karena pengunjung yang datang sedang sibuk makan dan berbincang.

Sedih dan kecewa, sudah pasti. Kejadian seperti itu lalu dijadikan Maliq sebagai cambuk kreatifitas.

"Saat itu kami sadar, kalau kami bukan bintang utama, tapi kami harus tetap menghibur. Lama kelamaan, kami terbiasa dengan keadaan seperti itu. Hasilnya kami jadi jauh lebih santai di atas panggung," ujar Indah sambil tertawa.

The Groove pun sempat mengalami hal yang sama. Tidak mau menuruti rasa sakit hati, Reza dan kawan-kawan pun berusaha tetap menghibur

"Kami sering tampil saat kafenya sedang sepi. Sepi atau tidak, kami tetap merasa senang, karena pada dasarnya kami semua gemar bermusik," kata Reza sambil tersenyum.

Tidak semata duka, The Groove juga merasakan suka setelah bertahun-tahun tampil di panggung kafe.

Dari sana, mereka memiliki banyak penggemar setia yang membantu membesarkan nama melalui promosi dari mulut ke mulut.

"Mereka yang tahun The Groove lalu memberi tahu temannya yang lain dan yang yang lain. Kami merasa sangat terbantu dengan promosi seperti itu," ujar Reza.

Begitu pun dengan Maliq & D' Essentials. Panggung kafe memberi mereka banyak pelajaran bagaimana cara menjadi musisi berbakat sekaligus menghibur.

Walau sudah merasa nyaman, Maliq dan The Groove tak pernah lupa dengan cita-cita awal mereka untuk merekam lagu dan membuat album sendiri.

Setelah melewati usia tiga tahun, Maliq dan The Groove sama-sama berusaha untuk menjejali telinga pengunjung dengan lagu gubahan mereka sendiri.

"Kami memang tidak ingin terjebak dalam zona nyaman. Kami ingin terus menemukan hal baru. Salah satunya dengan membawakan lagu ciptaan sendiri," kata Indah.

Usaha yang dilakukan Maliq berjalan mulus. Pada 2005, mereka merilis album perdana bertajuk 1st dibawah label musik Warner Indonesia.

Keberuntungan yang sama juga berpihak kepada The Groove. Pada 1999, mereka merilis album perdana yang bertajuk Kuingin dibawah label musik Sony Music Indonesia.

[Gambas:Youtube]

Harus Memiliki Karakter dan Ciri Khas

Maliq dan The Groove tidak akan pernah melupakan pengalam mereka ketika masih menjadi musisi kafe.

Jika tidak pernah tampil di sana, mereka mengaku tidak akan memiliki mental yang kuat untuk bertahan di industri musik sampai hari ini.

"Sampai sekarang kami masih mau kok tampil di panggung yang penontonnya belum mengenal Maliq. Seperti yang dibilang tadi, kami memang tidak ingin terjebak dalam zona nyaman. Kami suka menantang diri untuk membuat orang menyukai musik kami," kata Indah.

Sayangnya, tak semua musisi kafe bisa memiliki karier semulus Maliq atau The Groove. Banyak dari mereka yang seakan terjebak dalam zona nyaman, sehingga enggan beranjak dari panggung kafe.

Banyak musisi berkualitas yang tampil di kafe namun tak memiliki jati diri. Mereka tampil membawakan lagu musisi lain dengan juga meniru gaya musisi tersebut. Reza Hernanza, Vokalis dari The Groove.
Indah merasa, bahwa terjebak atau tidak merupakan sebuah pilihan dari sang musisinya.

Ia hanya berpesan, bahwa seorang musisi yang baik ialah musisi yang selalu memiliki keinginan untuk meningkatkan kemampuannya.

"Konsep bermusiknya juga harus jelas. Seperti konsep dari Angga dan Widi untuk Maliq yang terus kami jalani sampai saat ini. Jika sudah memiliki konsep, maka menjalaninya akan jauh lebih terencana," ujar Indah.

Selain konsep, Reza menambahkan, kalau karakter juga merupakan hal yang penting dimiliki oleh seorang musisi, apalagi yang mengawali kariernya dari kafe.

Mereka harus memiliki karakter yang berbeda dari yang pernah ada, sehingga bisa dilirik dan diingat oleh pengunjung atau bahkan bos perusahaan rekaman musik.

Reza menyayangkan saat ini banyak musisi berkualitas yang tampil di kafe namun tak memiliki jati diri.

Mereka tampil membawakan lagu musisi lain dengan juga meniru gaya musisi tersebut.

Itu membuat banyak band kafe yang jalan ditempat.

Ia mengambil contoh band punk rock asal New York, Ramones, yang awalnya tampil di panggung musik pub kecil bernama CBGB.

"Setahu saya, (saat masih di CBGB) Ramones juga membawakan lagu musisi lain, tapi dengan gaya mereka sendiri. Itulah yang membentuk karakter mereka. Kalau mau menonjol, memang harus memiliki ciri khas," kata Reza.

[Gambas:Youtube] (ard/ard)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER