Psikolog Ungkap Dampak Game PUBG pada Emosi dan Perilaku Anak

CNN Indonesia
Selasa, 11 Nov 2025 12:00 WIB
Psikolog menilai game kekerasan seperti PUBG bisa memengaruhi empati, emosi, hingga perilaku ekstrem anak jika tanpa pengawasan.
Ilustrasi. Beberapa jenis game dianggap memicu perilku kekerasan pada anak. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia --

Wacana pembatasan game online bertema kekerasan kembali mencuat usai insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta.

Presiden Prabowo Subianto menyoroti pentingnya pembatasan permainan daring dengan unsur kekerasan, seperti PlayerUnknown's Battlegrounds (PUBG), yang dinilai bisa memengaruhi psikologi dan perilaku sosial anak serta remaja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menyebut PUBG menjadi salah satu contoh game dengan risiko tinggi karena menampilkan berbagai jenis senjata dan adegan pertempuran.

"Misalnya PUBG, di situ banyak jenis senjata yang mudah sekali dipelajari. Ini berbahaya karena bisa menumbuhkan kebiasaan melihat kekerasan sebagai hal yang wajar," ujarnya.

Namun, apakah benar game online seperti PUBG dapat mendorong perilaku ekstrem pada anak?

Psikolog klinis Anastasia Sari Dewi menilai game online kini bukan sekadar hiburan, melainkan bagian dari lingkungan sosial anak. Dalam dunia digital, anak berinteraksi dengan banyak orang yang belum tentu dikenal atau memiliki nilai yang sama.

"Game online termasuk lingkungan, karena anak bisa kenal banyak orang di luar sana secara daring dan kita tidak tahu asal-usul atau latar belakang mereka seperti apa. Bisa jadi ada pengaruh dari saran-saran yang menyesatkan," ujar Sari, mengutip Detik.

Dia mengingatkan bahwa game dengan unsur kekerasan dapat menumpulkan sensitivitas emosional.
"Game sadis sekarang tampilannya sangat detail. Kalau anak sering terpapar, lama-lama hal seperti itu jadi terasa biasa. Ini yang berbahaya," tegasnya.

Sari menyarankan agar orang tua dan sekolah aktif menyeimbangkan paparan digital anak dengan kegiatan yang membangun empati dan kemampuan sosial.

"Tambahkan kegiatan yang mengenalkan berbagai jenis emosi, nilai sosial, toleransi, dan empati. Anak remaja sering kali hanya dibekali norma agama, tapi tidak tahu cara berinteraksi sosial atau memahami konflik. Ini bisa membuat mereka buntu dan melampiaskan emosi dengan cara ekstrem," jelasnya.

Senada, psikolog anak dan remaja Sani Budiantini Hermawan mengatakan budaya bermain game kekerasan memang sulit dihindari, tapi perlu diimbangi dengan kontrol dan alternatif yang sehat.
"Sering kali game berdarah-darah bagi anak bukan hal mengerikan, tapi hal biasa. Ini yang mengkhawatirkan," ujarnya.

Dia menambahkan, orang tua perlu memperhatikan perilaku nyata anak di dunia sehari-hari, apakah ada perubahan dalam cara bicara, sikap agresif, atau empati.

"Kalau sudah terlihat perubahan perilaku, artinya ada efek yang perlu diwaspadai," kata Sani.

Waspadai paparan ideologi ekstrem

Lebih jauh, Sani menyoroti bahaya lain yang kerap luput dari perhatian, yakni paparan ideologi ekstrem di dunia maya.

"Anak bisa saja mencari tahu soal terorisme, ideologi ekstrem, atau melihat pelaku kekerasan sebagai role model. Mereka merasa tindakan ekstrem itu bisa menyalurkan emosi atau bahkan menjadikan mereka diperhatikan," ungkapnya.

Menurut Sani, perilaku ekstrem sering kali lahir dari akumulasi penderitaan yang tak tersalurkan.

"Kadang anak merasa tidak ada yang menolong, lalu mencari cara agar orang tahu dia sedang terluka, salah satunya lewat perilaku ekstrem yang berujung viral," ujarnya.

Baca selengkapnya di sini

(tis/tis)


[Gambas:Video CNN]
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER