Tidak ada debut yang lebih ditunggu di musim ini selain penampilan koleksi perdana Matthieu Blazy untuk Chanel. Rupanya ia mampu menjawab ekspektasi penikmat fashion secara total lewat koleksi Spring/Summer 2026 di Paris Fashion Week.
Dunia mode telah lama menantikan momen ketika Chanel, salah satu rumah mode paling berpengaruh di dunia, membuka babak baru setelah periode intermisi di bawah Virginie Viard.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan Matthieu Blazy, desainer Prancis-Belgia berusia 40 tahun yang dikenal atas kecerdasan teknis dan sensibilitas artistiknya di Bottega Veneta, ekspektasi terasa sangat tinggi. Mampukah ia menulis "Babak Ketiga" dalam sejarah Chanel, setelah Gabrielle Chanel dan Karl Lagerfeld?
Blazy tidak menjawab ekspektasi ini dengan setengah hati. Is menciptakan Koleksi yang sarat dengan ketegangan antara nostalgia dan inovasi, warisan dan penemuan, serta ekspresi cinta dan logika desain.
Koleksi ini bukan karya kolaborasi. Namun Blazy mampu menunjukkan gestur penghormatan terhadap Chanel di era lalu termasuk membaca kisah cinta Chanel dan Arthur 'Boy' Capel. Pun Blazy mendatangi Charvet, pembuat kemeja legendaris di Place Vendôme. Bersama pembuat kemeja untuk Coco Chanel dan Boy Capel ini, Blazy membuat tiga kemeja dengan label 'Tissu et technique par Charvet'.
Berangkat dari masa lalu, Blazy bergerak membuka jalan bagi pendekatan baru akan teknik, material, dan narasi Chanel. Dari titik itu, koleksi berkembang menjadi tiga babak yakni, Paradox, Le Jour, dan Universal.
Bab pertama, Paradox, menampilkan pertentangan khas Chanel, antara kekuatan maskulin dan daya tarik feminin.
Blazy memulai dengan setelan baru, dengan siluet bahu tegas, tepian yang dibiarkan terbuka, celana longgar, dan sepatu Oxford datar. Di sini tampak eksplorasi proporsi yang memadukan elemen laki-laki dan perempuan, dengan garis potong tajam tetapi tetap lembut.
Kemeja Charvet muncul kembali dalam versi panjang, dihiasi kancing mutiara dan bordir "Chanel" dengan tipografi 1920-an. Potongan dengan tepi tak sempurna menjadi leitmotif yang berulang, merefleksikan obsesi Gabrielle Chanel pada keanggunan yang tak berlebihan.
![]() |
Bab kedua, Le Jour, berbicara tentang pakaian sehari-hari, 'wardrobe' yang bisa dipadupadankan.
Siluet-siluet dibuat lebih rileks, seolah melebur antara busana kerja dan pakaian santai. Ia menghidupkan kembali teknik pembuatan kain untuk membuat T-shirt sutra yang begitu padat teksturnya, dan rok mikro-tweed yang halus tapi kuat.
Jaket Chanel klasik hadir dalam versi baru melalui Look 26, dibuat oleh Atelier Lesage. Atelier Lesage merupakan ahli sulaman dan payet yang dimiliki oleh Chanel, diantara atelier-atelier spesifik lainnya. Jaket disulam menggunakan benang inovatif yang menciptakan tweed sangat ringan, hampir seperti shantung.
Proses pembuatan material baru menjadi bahasa utama di tangan Blazy. Dari benang katun yang dibiarkan kering hingga tekstur yang halus hampir seperti serpihan gandum. Setiap detail menunjukkan eksplorasi pengembangan material yang luar biasa.
Payet-payet disematkan langsung ke dalam kain alih-alih dibordir, dan satu tampilan menampilkan serat jerami berwarna-warni.
Di sinilah kejeniusan Blazy paling terasa, melalui material yang tampak sederhana tapi dibuat melalui proses yang sangat kompleks. Beberapa potongan menggunakan sutra gabardine yang membutuhkan waktu tiga bulan untuk dikembangkan, dan menjadi bahan yang tampak ringan.
Bab ketiga, Universal, membawa Chanel keluar dari Rue Cambon menuju dunia. Blazy menempatkan Chanel di panggung global, mengakui kekuatan merek ini bahkan di luar dunia fesyen.
Ia ingin menciptakan impian yang bisa dipahami semua orang, tanpa batas usia, bangsa, atau konteks budaya.
Dari sini muncul permainan warna dan tekstur yang lebih terbuka, terlihat dari transparansi, tweed yang strukturnya seolah diperbesar lewat layar komputer, hingga ledakan warna.
Di tengah kemeriahan itu, dua tampilan terakhir mengembalikan mood koleksi ini pada tradisi Chanel dengan setelan bouclé stretch yang mengingatkan pada karya-karya Karl Lagerfeld.
Tas-tas dalam koleksi ini menjadi bab tersendiri. Bagi Blazy, aksesori bukan sekadar pelengkap, tetapi bagian dari siluet.
![]() |
Di akhir pertunjukan, kesan yang tertinggal bukan sekadar keindahan visual, tetapi juga sensibilitas. Blazy tampak sadar bahwa industri saat ini sedang berada di persimpangan.
Ia menciptakan koleksi yang berfokus pada elemen esensial fesyen, yakni pada obyek itu sendiri, pada tekstur, pada jahitan, pada narasi yang mengalir dari material, dan tentu saja, pada sejarah.
Chanel tidak lagi hanya menjadi simbol kemewahan. Melalui debut Blazy, rumah mode ini kembali menjadi laboratorium ide, tempat di mana pakaian bukan sekadar objek, melainkan bagian dari hidup yang dinamis.
Penutup show menjadi momen paling emosional. Model Awar Odhiang melangkah keluar dalam tampilan terakhir, yakni sebuah atasan putih yang kontras dengan rok ball-gown penuh ledakan warna. Kemudian ia berputar perlahan, membuat warna-warna di roknya terlihat lebih hidup dalam gerakan melingkar yang menutup cerita koleksi ini dengan cahaya dan energi.
Di akhir runway, ia menghampiri Blazy dan memeluknya, bukan sebagai model kepada desainer, melainkan sebagai dua orang yang berbagi keberhasilan sebuah perjalanan kreatif.
(fas/els)