ANALISIS

Hati-hati Redenominasi Rupiah, Pak Purbaya!

Feby Febrina Nadeak | CNN Indonesia
Selasa, 11 Nov 2025 07:02 WIB
Sejumlah ekonom menilai rencana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melakukan redenominasi rupiah tidak menjawab permasalahan ekonomi yang dihadapi Indonesia.
Sejumlah ekonom menilai rencana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melakukan redenominasi rupiah tidak menjawab permasalahan ekonomi yang dihadapi Indonesia. (CNN Indonesia/Sakti Darma Abhiyoso).
Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa berencana melakukan redenominasi rupiah. Kebijakan mengubah Rp1.000 menjadi Rp1 itu akan dituangkan lewat undang-undang baru pada 2027.

Rencana itu ia ungkap lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029.

"RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada 2027," bunyi PMK 70/2025 yang ditandatangani Purbaya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bank Indonesia (BI) lewat situs resminya menjelaskan redenominasi rupiah adalah penyederhanaan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula dengan penyederhanaan penulisan alat pembayaran atau uang.

Penyederhanaan hanya dilakukan dengan menghilangkan sejumlah angka nol di uang. Redenominasi tidak mengubah nilai dari uang tersebut.

Misalnya, uang Rp100 ribu akan diganti dengan uang Rp100. Namun, nilai dua uang itu setara.

Rencana redenominasi rupiah bukanlah hal baru. Wacana ini sudah bergulir sejak 2013.

Rencana itu kembali mencuat di era Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo. Pada Desember 2016, Agus meminta restu Presiden ke-7 RI Jokowi untuk mendukung proses penyelesaian UU Redenominasi Uang Rupiah.

Meski demikian, rencana-rencana itu belum kunjung terwujud. Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyebut redenominsi rupiah butuh waktu bertahun-tahun.

Lantas perlukan redenominasi rupiah dilakukan?

Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan redenominasi hanya mengubah angka yang tercetak di uang kertas, label harga, sistem akuntansi, dan papan pajak. Redenominasi tidak mengubah daya beli, pendapatan riil, serta tidak menciptakan lapangan kerja dan tidak memperkuat struktur industri.

"Redenominasi hanya menukar tampilan, bukan substansi," katanya kepada CNNIndonesia.com, Senin (10/11).

Syafruddin mengatakan redenominasi memang kerap digaungkan untuk mempermudah pencatatan, efisiensi pembukuan, dan persepsi stabilitas. Namun, narasi itu katanya tidak pernah disertai bukti empiris perubahan angka nominal akan meningkatkan investasi, memperkuat industri, atau menaikkan pertumbuhan ekonomi.

Karenanya, ia menilai redenominasi rupiah lebih menjanjikan keuntungan bersifat psikologis dan simbolik. Padahal, stabilitas ekonomi sejati dibangun dari fondasi yang jauh lebih dalam: produktivitas, kredibilitas fiskal, dan kepercayaan publik terhadap kebijakan ekonomi.

Belum lagi, sambungnya, redenominasi membutuhkan uang untuk dilakukan. Negara harus mencetak ulang seluruh uang kertas dan koin serta menjalankan kampanye sosialisasi nasional agar masyarakat tidak bingung dan pelaku usaha tidak salah menghitung.

Sistem perbankan juga harus memperbarui software dan sistem pencatatan, dan dunia usaha harus mengganti jutaan label harga, kontrak, kuitansi, dan laporan keuangan. Transaksi elektronik, kartu kredit, bahkan perangkat kasir harus diperbaharui.

"Semua itu butuh dana besar, waktu lama, dan tenaga kerja tambahan," katanya.

Infografis Untung dan Rugi Ubah Rp1000 Jadi Rp1Infografis Untung dan Rugi Ubah Rp1000 Jadi Rp1.
(CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani).

Ia mengatakan redenominasi sudah dilakukan di berbagai negara karena kebutuhan mendesak seperti hiperinflasi. Sementara itu, Indonesia katanya saat ini tidak berada dalam situasi itu.

Karena itu, ia menilai tidak ada urgensi ekonomi yang menuntut penghapusan nol alias redenominasi.

"Jika pemerintah bersikukuh melakukannya, artinya mereka justru mengalihkan perhatian dari prioritas utama: mendorong pertumbuhan ekonomi secara riil," katanya.

Syafrudddin mengatakan produktivitas nasional tidak akan membaik hanya karena angka di mata uang dirapikan. Hal yang dibutuhkan katanya adalah efisiensi birokrasi, kepastian hukum, dan kebijakan yang mendorong pelaku usaha untuk berkembang.

Redenominasi rupiah, sambungnya, tidak akan menciptakan insentif baru bagi investasi asing, memperkuat daya saing ekspor RI, dan membuka jutaan lapangan kerja baru.

"Artinya, setiap rupiah yang dikeluarkan untuk menjalankan proses redenominasi adalah opportunity cost yang merampas anggaran dari program yang lebih strategis, seperti subsidi pupuk, perbaikan irigasi, atau pengembangan digitalisasi UMKM," katanya.

Syfaruddin mengatakan jika benar pemerintah ingin memperkuat rupiah, maka yang perlu dilakukan dengan memperkuat fundamental ekonomi, yaitu tekan inflasi, perkuat neraca perdagangan, kelola utang secara hati-hati, dan tingkatkan efisiensi belanja negara.

"Daripada sibuk dengan tiga angka nol di mata uang, lebih baik pemerintah sibuk dengan reformasi struktural," katanya.

Sementara itu, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengatakan secara teori, penyederhanaan nominal mata uang memang bisa memudahkan transaksi, mempercantik citra rupiah di mata internasional, dan meningkatkan efisiensi administrasi keuangan.

Namun, persoalannya adalah waktu dan motivasi di balik redenominasi rupiah.

"Redenominasi seolah ingin memberi kesan 'ekonomi kita sudah siap'. Padahal, kesiapan sejati bukan diukur dari panjang pendeknya angka di mata uang, melainkan dari ketahanan ekonomi masyarakat dan efektivitas kebijakan publik," katanya.

Ia mengatakan redenominasi rupiah sama seperti mengganti logo perusahaan saat keuangannya merugi. Redenominasi hanya mengubah tampilan, tapi tidak menyentuh akar persoalan.

Menurutnya, Purbaya tampaknya ingin menciptakan simbol kemajuan Indonesia kini "setara" dengan negara-negara yang memiliki mata uang berdenominasi kecil, seperti Jepang atau Korea Selatan. Namun, simbol tanpa substansi hanya akan menambah kebingungan publik.

"Dalam psikologi kebijakan publik, kebijakan seperti ini sering disebut symbolic policy yakni kebijakan yang lebih berorientasi pada citra daripada dampak nyata," katanya.

"Alih-alih memperkuat mesin penggerak ekonomi, yakni daya beli masyarakat dan penciptaan lapangan kerja, pemerintah justru sibuk dengan upaya kosmetik," katanya.

Ia mengatakan memang redenominasi pernah berhasil di negara-negara dengan stabilitas makro yang kuat dan kepercayaan publik tinggi seperti Turki pada 2005 atau Korea Selatan yang melakukannya secara bertahap.

Namun, kesamaan kondisi itu tidak bisa serta-merta diterapkan di Indonesia. Ada tiga alasan setidaknya yang diungkapkan Achmad.

Pertama, stabilitas rupiah saat ini masih sangat bergantung pada intervensi Bank Indonesia (BI).

"Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berkisar di atas Rp16 ribu. Sementara tekanan impor dan ekspor yang melambat membuat ruang kebijakan moneter semakin sempit," katanya.

Kedua, dari sisi psikologis, masyarakat Indonesia masih berorientasi pada nominal besar. Seribu rupiah dianggap "uang kecil", dan perubahan menjadi "satu rupiah baru" bisa menimbulkan kebingungan dalam harga pasar.

Ketiga, dari sisi manfaat ekonomi, dampak positif redenominasi terhadap pertumbuhan hampir nihil.

"Tidak ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa penyederhanaan nominal mampu meningkatkan PDB, memperluas lapangan kerja, atau menurunkan kemiskinan," katanya.

[Gambas:Video CNN]

(dhf)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER