Asosiasi Garmen dan Tekstil Indonesia (AGTI) mendukung aksi Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memberantas baju bekas impor dan produk thrifting lainnya.
Dukungan itu disampaikan Ketua Umum AGTI Anne Patricia Sutanto usai bertemu Purbaya di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat. Ia menilai memang perlu ketegasan dari Direktorat Jenderal Bea Cukai Kemenkeu di lapangan.
"AGTI sangat setuju ya dengan apa yang disampaikan oleh Pak Purbaya (memberantas baju bekas dan produk thrifting). Kami sangat setuju bahwa intinya keputusan Kemenkeu dalam hal ini Pak Purbaya dengan Ditjen BC (Bea Cukai) itu tepat," jelasnya di Kemenkeu, Jakarta Pusat, Selasa (4/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia berharap Purbaya memberantas pakaian bekas impor dari level importinya, sehingga produk impor ilegal tersebut tidak sampai masuk pasar dalam negeri.
Lihat Juga : |
"Harapan kami sebenarnya di level importir langsung, kalau pun nanti ada barang yang sudah terlanjur di Pabean dan perlu diproses lebih lanjut, itu jangan masuk ke pasar lokal ... Ketegasan di lapangan oleh Bea Cukai itu diperlukan!" tuntut Anne.
Anne juga menawarkan solusi pemusnahan baju-baju tersebut, selain dibakar. Ia menyebut pakaian bekas ilegal bisa dicacah dan menjadi bahan daur ulang, seperti polyester based, cotton based, hingga dibagi berdasarkan jenis bahan lainnya.
Selain itu, AGTI mengaku siap menjadi pemasok barang dan produk tekstil bagi para pedagang yang selama ini hidup dari industri thrifting.
"Kalau nanti ada keluhan dari pedagang-pedagang di lapangan, kami di AGTI dengan seluruh produsen lokal siap untuk memenuhi kebutuhan teman-teman pedagang pakaian di lapangan," tegas Anne.
"Sehingga konektivitas antara supply chain dari ujung ke ujung sampai ke retail itu bisa kita persiapkan secara patuh dan jelas. Kita bukan anti-impor, yang jelas kita ingin itu impor pakaian jadi resmi, kain resmi. Karena seperti kami kan juga jual kain, baju, kita kan harus bayar pajak," sambungnya.
Di lain sisi, AGTI menyinggung soal pembahasan upah minimum provinsi (UMP) 2026. Ia menegaskan para pengusaha menginginkan adanya keberlanjutan dari lapangan kerja.
Anne mengatakan jangan sampai pembahasan UMP hanya memenangkan ego salah satu atau beberapa kelompok. Pada akhirnya, justru dinilai merugikan penciptaan lapangan kerja di Indonesia.
"Upah minimum harus memperhatikan bukan hanya gengsi 1 serikat-2 serikat (pekerja), tapi lebih ke arah lapangan kerja, berapa banyak yang akan dibentuk? Yang akan ada dengan adanya penambahan upah minimum," pesan Anne.
(skt/pta)