Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman membantah isu sejumlah pabrik gula berhenti beroperasi akibat menumpuknya stok tetes tebu atau molase.
Ia menegaskan pabrik gula tetap berjalan meski harga tetes turun karena masuknya produk etanol impor.
"Jadi gini, ini saya lurusin. Tetes itu adalah hasil sampingan dari pabrik gula. Pabrik gula ini jalan terus," kata Amran pada konferensi pers di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Jumat (19/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Amran menjelaskan masalah yang sebenarnya terjadi adalah penurunan harga tetes akibat banjir etanol impor.
Tetes tebu, yang merupakan produk sampingan dari penggilingan tebu, biasanya diserap industri etanol. Namun, karena pasokan dari luar negeri masuk dalam jumlah besar, sebagian tangki penyimpanan di pabrik gula penuh.
"Kemarin yang menumpuk adalah gula. Gula ini sudah dibeli atas persetujuan Bapak Presiden (Prabowo Subianto) diberikan dana dari Danantara Rp1,5 triliun membeli gulanya petani. Hanya saja tetesnya harganya turun karena ada etanol masuk dari luar negeri. Sehingga tangkinya mungkin full. Itu maksudnya," ujar dia.
"Pabrik itu biasa, bermasalah, tapi enggaklah (enggak sampai tutup). Ini selesai," tambah dia.
Amran menambahkan pemerintah berupaya menjaga keseimbangan antara kepentingan petani, pelaku usaha, dan konsumen.
Lihat Juga :BREAKING NEWS Prabowo Tunjuk Dony Oskaria Jadi Plt Menteri BUMN |
"Bagaimana petani tersenyum, tapi konsumen bahagia, pengusahanya untung. Itu keinginan negara. Tidak ada boleh kita korbankan satu pun. Petani atau produsen, pengusahanya, kemudian konsumennya, tiga-tiga ini harus kita jaga," katanya.
Kendati demikian, petani tebu menyebut persoalan penumpukan tetes bisa berdampak langsung ke operasional pabrik. Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (Aptri) Fatchuddin Rosyidi menjelaskan tangki penyimpanan di pabrik gula saat ini masih dipenuhi molase yang tidak terserap.
Jika kondisi ini berlarut, pabrik terancam menghentikan giling karena tidak punya ruang untuk menampung produksi baru.
"Biasanya harga tetes tahun kemarin itu Rp2.400 sampai Rp2.100. Kemudian tiba-tiba ada Permendag yang membolehkan impor tetes dari Thailand untuk digunakan etanol. Akhirnya produksi kita tahun 2024 ini enggak laku. Jadi harga yang Rp2.400 terjun (jadi) Rp2.000, terjun lagi Rp1.700, terjun lagi Rp1.200, sekarang Rp900," ungkap Fatchuddin.
Ia menyebut dari total produksi tetes sekitar 1,6 juta ton per tahun, baru 40 persen yang terserap industri. Adapun 60 persen sisanya masih tersimpan di pabrik.
Sebelumnya, Wakil Menteri Pertanian Sudaryono juga sempat menyampaikan ada pabrik yang menghentikan giling karena tangki tetes penuh imbas impor etanol. Pernyataan ini kemudian dibantah Amran dengan menegaskan bahwa pabrik gula tetap beroperasi, meski menghadapi tantangan harga molase.
"Betul ada penumpukan tetes di pabrik gula kita, di mana bukan hanya menumpuk, tapi karena menumpuk sehingga pabriknya ada kekhawatiran. Dan beberapa pabrik itu menghentikan gilingnya karena menumpuk tetesnya," ujar Sudaryono dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (16/9).
Isu penumpukan molase muncul setelah terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 16 Tahun 2025 yang membuka akses impor etanol dan tetes tebu tanpa kuota. Aturan baru tersebut ditentang oleh petani karena dianggap membuat tetes lokal sulit terserap.
Sebagai tindak lanjut, Presiden Prabowo Subianto memerintahkan pemberlakuan larangan terbatas (lartas) impor etanol dan singkong, termasuk produk turunannya seperti tepung tapioka. Amran memastikan kebijakan ini segera diformalkan dalam bentuk Permendag yang baru, dengan target terbit awal pekan depan.
Etanol sendiri merupakan produk turunan dari tetes tebu yang difermentasi. Selain menjadi bahan baku industri, etanol juga digunakan untuk campuran energi. Karena itu, keberlanjutan serapan molase dari pabrik gula menjadi krusial agar produksi gula tidak tersendat.
(del/dhf)