Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menerima langsung Aliansi Ekonom Indonesia (AEI) yang menyatakan kondisi darurat ekonomi di tanah air.
"Saya pikir, kita ramai-ramai kerjakan. Jangan pernah ada yang berpikir, satu orang pun, bahwa dia paling pintar. Enggak ada, saya gak percaya itu. Tinggal bisa enggak kita membangun teamwork," tuturnya dalam pertemuan di Kantor DEN, Jakarta Pusat, Jumat (12/9).
Luhut menegaskan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memandang para ekonom sebagai mitra strategis dalam memperkuat kebijakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, pertemuan dengan perwakilan AEI menjadi ruang dialog terbuka untuk pemerintah mendengar langsung tantangan dan arah kebijakan ekonomi nasional.
Terlebih, AEI yang berisi 383 ekonom dan 283 mitra pendukung dari berbagai latar belakang itu baru mengeluarkan 7 desakan darurat ekonomi pada 9 September 2025 lalu.
"Kami ingin mendengar langsung, menyampaikan apa yang telah pemerintah lakukan, dan memastikan bahwa pemerintah aware terhadap berbagai persoalan yang dihadapi. Yang terpenting, basisnya adalah data. Kita mengundang rekan-rekan AEI untuk mencari solusi bersama," jelasnya dalam siaran pers DEN.
DEN turut memaparkan langkah deregulasi yang diklaim sebagai kunci penciptaan lapangan kerja dan penguatan pertumbuhan ekonomi. Luhut juga menjelaskan tentang progres percepatan digitalisasi melalui sistem Online Single Submission (OSS).
Luhut menekankan pentingnya penguatan kualitas belanja dan peningkatan penerimaan negara melalui digitalisasi. Salah satu pilot project yang segera dijalankan pemerintah adalah digitalisasi penyaluran bantuan sosial (bansos).
Ia mengklaim digitalisasi bansos tidak hanya akan meningkatkan transparansi, melainkan turut memungkinkan efisiensi anggaran. Upaya tersebut diyakini berhasil karena bantuan sosial bakal lebih tepat sasaran dan langsung dirasakan masyarakat.
Anak buah Presiden Prabowo itu juga membahas upaya relokasi beberapa perusahaan garmen dan alas kaki. Rencana tersebut menyusul kebijakan tarif dari Amerika Serikat (AS) yang diklaim berpotensi menciptakan lebih dari 100 ribu lapangan kerja baru di Indonesia.
"Masukan bapak dan ibu sangat dibutuhkan, apakah kami di pemerintah sudah on the right track atau belum. Saya butuh feedback dari bapak ibu semuanya untuk menjadi bahan diskusi kami di pemerintahan. Saya ucapkan terima kasih kepada para ekonom atas masukan yang diberikan," kata Luhut.
"Kami percaya bahwa kolaborasi antara pemerintah, para ekonom, dan dunia akademik akan memperkuat fondasi pembangunan ekonomi nasional agar lebih siap menghadapi dinamika global," sambungnya.
Sedangkan pihak AEI menegaskan pentingnya deregulasi kebijakan, perizinan, lisensi, serta penyederhanaan birokrasi. Para ekonom menganggap permasalahan-permasalahan tersebut masih menjadi hambatan dalam penciptaan iklim usaha dan investasi yang kondusif.
"Kami berterima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menyampaikan pandangan kami secara langsung. Ini adalah diskusi yang produktif dan kami berharap agar desakan yang disusun perlu dijadikan pertimbangan pemerintah untuk pembuatan kebijakan ke depan dan diskusi seperti ini dapat dilakukan secara berkala," kata Perwakilan AEI Jahen F. Rezki.
Luhut Binsar Pandjaitan menyambut ide tersebut. Ia berharap pertemuan antara pemerintah dengan para ekonom bisa rutin digelar agar ada kontribusi lebih jauh dalam riset dan pendalaman isu-isu strategis.
Daftar 7 Desakan Darurat Ekonomi dari AEI:
1. Perbaiki secara menyeluruh misalokasi anggaran yang terjadi dan tempatkan anggaran pada kebijakan dan program secara wajar dan proporsional.
2. Kembalikan independensi, transparansi, dan pastikan tidak ada intervensi berdasarkan kepentingan pihak tertentu pada berbagai institusi penyelenggara negara (Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, Kejaksaan), serta kembalikan penyelenggara negara pada marwah dan fungsi seperti seharusnya.
3. Hentikan dominasi negara yang berisiko melemahkan aktivitas perekonomian lokal, termasuk pelibatan Danantara, BUMN, TNI, dan Polri sebagai penyelenggara yang dominan sehingga membuat pasar tidak kompetitif dan dapat menyingkirkan lapangan kerja lokal, ekosistem UMKM, sektor swasta, serta modal sosial masyarakat.
4. Deregulasi kebijakan, perizinan, lisensi, dan penyederhanaan birokrasi yang menghambat terciptanya iklim usaha dan investasi yang kondusif.
5. Prioritaskan kebijakan yang menangani ketimpangan dalam berbagai dimensi.
6. Kembalikan kebijakan berbasis bukti dan proses teknokratis dalam pengambilan kebijakan serta berantas program populis yang mengganggu kestabilan dan prudensi fiskal (seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, sekolah rakyat, hilirisasi, subsidi dan kompensasi energi, dan Danantara).
7. Tingkatkan kualitas institusi, bangun kepercayaan publik, dan sehatkan tata kelola penyelenggara negara serta demokrasi, termasuk memberantas konflik kepentingan maupun perburuan rente.
(skt/sfr)