Pengamat penerbangan Alvin Lie mengkritik kebijakan pemerintah menambah jumlah bandara internasional dari 17 menjadi 40.
Pasalnya, kebijakan ini dinilai tidak efektif tanpa kewajiban promosi pariwisata oleh pemerintah daerah.
Alvin mengatakan selama ini sebagian besar bandara internasional di Indonesia tidak berhasil mendatangkan wisatawan mancanegara. Berdasarkan pengamatannya, mayoritas pengguna rute internasional di bandara tersebut justru warga Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari 17 bandara internasional yang ada, hanya lima yang lebih dari 50 persen penumpangnya asing. Lainnya mayoritas paspor Indonesia, bahkan ada yang lebih dari 70 persen," kata Alvin di Kantor Boeing Indonesia, Jakarta Selatan, Rabu (27/8).
Ia menilai fenomena ini terjadi karena kurangnya promosi destinasi oleh daerah yang memiliki bandara internasional. Menurut Alvin, hanya Bali dan Labuan Bajo yang terbukti mampu menarik wisatawan asing secara signifikan.
"Di Bali, 90 persen penumpangnya adalah pemegang paspor asing, sedangkan Labuan Bajo juga sudah terkenal dunia," ujarnya.
Sementara di bandara lain, termasuk Soekarno-Hatta, justru didominasi penumpang domestik. Alvin menyebut 60 persen pengguna bandara terbesar di Indonesia itu adalah warga negara Indonesia (WNI), sedangkan penumpang asing hanya sekitar 30 persen.
Menurut Alvin, tujuan penambahan bandara internasional seharusnya jelas dan diiringi kewajiban bagi pemerintah daerah untuk mempromosikan destinasi masing-masing.
"Kalau tidak ada promosi, bandara internasional hanya akan memfasilitasi orang Indonesia bepergian ke luar negeri," ucapnya.
Ia juga menyoroti pola rute penerbangan internasional yang sebagian besar menuju Singapura dan Malaysia. Kondisi ini justru membuat Indonesia lebih banyak mengirim penumpang ke dua negara tersebut ketimbang mendatangkan wisatawan asing.
Alvin menekankan bahwa kewajiban promosi sebaiknya segera diterapkan tanpa menunggu evaluasi dua tahun.
"Kalau nunggu dua tahun, sudah telat. Segera lakukan promosi, kalau tidak dalam satu tahun bandara-bandara ini lebih baik kembali ke status domestik," tegasnya.
Sebagai contoh, ia menyebut Bandara Kulon Progo yang mengalami penurunan penumpang internasional sejak 2024. Berdasarkan data hingga Mei 2025, jumlah penumpang rute internasional di bandara tersebut baru mencapai 30 persen dari total jumlah penumpang pada 2024.
Kondisi serupa terjadi di Kualanamu, yang juga sepi karena tidak ada promosi daerah.
Sebelumnya, pemerintah menetapkan 40 bandara internasional yang terdiri dari 36 bandara umum, 3 bandara khusus, dan 1 bandara milik pemerintah daerah. Penetapan itu dituangkan sebagai melalui Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor KM 37 dan KM 38 Tahun 2025.
Kebijakan ini dilakukan untuk memperluas konektivitas udara, mendukung pariwisata, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Daftar 36 bandara umum yang ditetapkan sebagai bandara internasional adalah:
Selain itu, tiga bandara khusus juga diizinkan melayani penerbangan internasional dalam kondisi tertentu, yakni:
37. Bandar Udara Khusus Sultan Syarief Haroen Setia Negara (Pelalawan, Riau)
38. Bandar Udara Khusus Weda Bay (Halmahera Tengah, Maluku Utara)
39. Bandar Udara Khusus Indonesia Morowali Industrial Park (Morowali, Sulawesi Tengah)
Satu bandara milik Pemda, Bersujud di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, juga masuk daftar dengan syarat melengkapi fasilitas imigrasi, bea cukai, dan karantina dalam enam bulan.
Evaluasi status dilakukan setiap dua tahun, dan bandara harus memenuhi seluruh ketentuan ICAO sebelum melayani penerbangan internasional.
(del/pta)