Kasus penipuan digital (scam) terus menghantui masyarakat Indonesia.
Meski kampanye literasi keuangan dan digital gencar dilakukan, masih banyak orang yang mudah percaya pada iming-iming cepat kaya, ancaman palsu, hingga bujuk rayu pelaku.
Tidak jarang, korban baru menyadari telah ditipu setelah kerugian menimpa, mulai dari kehilangan tabungan hingga data pribadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Sekretariat Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (PASTI) OJK Hudiyanto menjelaskan penipu kerap memanfaatkan kelemahan psikologis masyarakat untuk melancarkan aksinya.
Menurut Hudiyanto, ada lima "pintu masuk" utama yang membuat orang gampang terjebak pelaku scam.
"Orang menipu itu punya lima pintu yang digunakan," ujar Hudiyanto dalam Podcast Money Honey CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Berikut penjelasan lima faktor tersebut menurut Hudiyanto:
Kata dia, minimnya literasi keuangan dan digital masih menjadi masalah besar. Banyak masyarakat yang tidak terbiasa memeriksa legalitas dan logika penawaran, sehingga mudah percaya pada undian palsu, link investasi bodong, atau pesan berantai.
Rasa panik sering dimanfaatkan penipu untuk menekan korban. Modus yang umum adalah ancaman pemblokiran akun, penagihan utang fiktif, hingga intimidasi dengan data pribadi yang bocor.
Dalam kondisi tertekan, korban biasanya mengikuti instruksi pelaku tanpa berpikir panjang.
Love scam atau penipuan asmara marak menjebak korban yang sedang kesepian. Pelaku memulai dengan membangun komunikasi intens, menciptakan rasa aman dan dicintai, lalu berujung pada permintaan uang dengan alasan darurat atau janji bertemu.
Keinginan untuk cepat kaya tanpa risiko membuat masyarakat mudah tergoda.
Investasi bodong kerap menawarkan keuntungan tinggi dalam waktu singkat.
"Biasanya orang dipancing dengan janji cepat untung tanpa risiko. Padahal, setiap investasi yang sehat pasti ada risikonya," ujar Hudiyanto.
Tidak banyak yang menyadari bahwa rasa bosan bisa menjadi celah. Misalnya, seseorang yang jenuh dengan rutinitas tergoda membeli tiket konser murah dari penjual tak resmi. Karena terburu-buru ingin hiburan, korban abai memeriksa keaslian tiket dan akhirnya tertipu.
Hudiyanto menegaskan masyarakat perlu selalu memegang prinsip 2L: Legal dan Logis.
"Untuk investasi, minimal dipikirkan dulu. Legal atau tidak, ada yang mengawasi atau tidak. Kalau tidak, sebaiknya dihindari," tegasnya.
(tst/sfr)