Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih irit bicara terkait dengan polemik tunjangan rumah anggota DPR RI sebesar Rp50 juta per bulan. Tunjangan tersebut berlaku untuk anggota DPR Periode 2024-2029.
Direktur Jenderal Anggaran Luky Alfirman meminta media untuk bertanya langsung kepada DPR RI ketika ditanya soal total besaran anggaran untuk tunjangan tersebut.
"Tanya ke DPR ya," ujarnya ditemui di Gedung DPR RI usai Rapat Panja Penerimaan, Jumat (22/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Luky mengakui belum mengetahui kapan tunjangan rumah tersebut berlaku. Padahal, tunjangan tersebut untuk anggota DPR periode 2024-2029 yang mulai menjabat pada Oktober tahun lalu.
"Makanya tanya DPR, udah berlaku belum tahun ini," katanya.
Wakil Ketua DPR Adies Kadir menyatakan uang tunjangan rumah sebesar Rp50 juta bagi anggota DPR sudah masuk akal.
Adies mengatakan biaya kos di sekitar Senayan saat ini berkisar Rp3 juta per bulan. Dengan biaya bulanan itu bisa saja didapat angka yang lebih rendah. Namun anggota dewan tidak nyaman jika harus ngekos.
Sementara biaya mengontrak rumah di sekitar Senayan, Jakarta Selatan diperkirakan menelan Rp40 hingga Rp50 juta per bulannya.
"Kontrak rumah kalau daerah sini sekitar Rp40 juta sampai Rp50 jutaan juga. Mereka kontrak rumah kan harus ada parkirnya untuk mobilnya, garasi. Ya sekitar itulah Rp40-50 juta, saya rasa make sense lah kalau Rp50 juta per bulan," kata Adies di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (19/8).
Lihat Juga : |
Adies pun mengatakan uang tunjangan rumah itu juga hanya berlaku bagi anggota DPR, sedangkan pimpinan tak lagi mendapatkan fasilitas tunjangan rumah tersebut.
Ia menyebut bahwa pimpinan telah mendapatkan rumah dinas, sehingga tak lagi mendapatkan tunjangan rumah dinas.
Sekjen DPR RI Indra Iskandar menyebut nilai tunjangan rumah itu tak ditetapkan secara asal. Nilai itu ditetapkan lewat administrasi formal dengan Kementerian Keuangan.
Ia menyampaikan tunjangan itu diberikan karena anggota DPR pada periode ini tak mendapatkan fasilitas rumah jabatan yang berada di Kalibata, Jakarta Selatan.
Kebijakan itu diambil karena kondisi umum fisik rumah jabatan terutama di Kalibata dinilai sudah tak layak dan tak ekonomis untuk dipertahankan dan dijatahkan bagi anggota DPR.
(ldy/sfr)