Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan transformasi industri hijau sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.
Karenanya, upaya pencapaiannya perlu didukung dan tidak perlu dipertentangkan dengan usaha mengejar target ekonomi.
"Kami selalu menyampaikan bahwa upaya untuk melakukan transformasi industri hijau itu tidak boleh dianggap sebagai cost, tetapi itu sebuah investasi. Oleh karena itu, negara wajib hadir, karena upaya ini sejalan dengan visi Asta Cita Bapak Presiden," ujar Agus pada The 2nd Annual Indonesia Green Industry Summit (AIGIS) 2025 di Jakarta, Rabu (20/8), seperti dikutip dari keterangan resmi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agus menjelaskan transformasi industri hijau sesuai dengan Asta Cita pada poin ke-2, yakni memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.
Selanjutnya, transformasi industri hijau juga sejalan dengan Asta Cita pada poin ke-3, yakni meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas. Pasalnya, transformasi industri hijau dapat mendorong penciptaan lapangan kerja hijau (green jobs).
Kemudian sesuai Asta Cita kelima, yaitu melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Bahkan, sejalan Asta Cita kedelapan yang terkait penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan dan alam.
"Di sinilah semakin relevannya terkait dengan ekonomi sirkular, yang akan kita lakukan," tuturnya.
Menurut Agus, transformasi menuju industri hijau saat ini dipengaruhi oleh setidaknya empat faktor, baik dari dalam maupun luar negeri.
"Pertama, adanya tuntutan konsumen terhadap produk hijau," ujar Agus.
Saat ini, pasar dunia kini semakin selektif karena konsumen cenderung memilih produk yang ramah lingkungan, memiliki transparansi jejak karbon, serta nilai keberlanjutan yang jelas.
"Apalagi, generasi Z di berbagai belahan dunia semakin peduli pada produk hijau. Ini menjadi peluang besar," jelasnya.
Faktor kedua, meningkatnya pembiayaan hijau. Lembaga keuangan domestik maupun internasional kini memprioritaskan proyek-proyek yang sesuai dengan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), sehingga membuka peluang bagi industri yang siap berinovasi.
"Selanjutnya, ketiga adalah penyiapan kebijakan pemerintah melalui peta jalan dekarbonisasi industri, insentif fiskal, kemudahan investasi, hingga regulasi efisiensi sumber daya juga menjadi pendorong utama," ujarnya.
Faktor keempat yang menjadi tantangan serius adalah mekanisme perdagangan global seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa, yang akan mengenakan biaya tambahan pada produk dengan jejak karbon tinggi.
"Industri Indonesia harus bersiap memenuhi standar rendah emisi agar tetap kompetitif," imbuhnya.
Sejak tiga tahun lalu, Kementerian Perindustrian sendiri telah menetapkan target net zero emission (NZE) untuk sektor industri manufaktur pada tahun 2050, atau 10 tahun lebih cepat dari target nasional.
"Sasaran tersebut adalah tuntutan dari market saat ini. Oleh karena itu, upaya kita bersama, pemerintah dan pelaku industri untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah, termasuk kami ingin mempercepat produk-produk hijau yang ada di Indonesia bisa lebih berdaya saing dibandingkan negara- negara kompetitor," ungkapnya.
Untuk mempercepat adopsi praktik industri hijau tersebut, Kemenperin juga memperkenalkan Green Industry Service Company (GISCO).
Platform ini berfungsi sebagai layanan terpadu yang menyediakan pendampingan teknis, asesmen efisiensi sumber daya, perhitungan jejak emisi, rencana transisi hijau, hingga fasilitasi pembiayaan hijau.
"GISCO akan menjadi jembatan kolaborasi antara industri, penyedia teknologi hijau, lembaga pembiayaan, dan pasar karbon. Dengan demikian, GISCO bukan hanya pusat layanan, tetapi juga motor penggerak ekosistem industri hijau nasional yang terhubung dengan standar internasional," tegas Agus.
Dalam upaya mendukung transformasi energi hijau, tahun ini, Kemenperin juga menggelar The 2nd Annual Indonesia Green Industry Summit (AIGIS) 2025.
Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Andi Rizaldi menyampaikan, AIGIS 20205 mengusung tema "Driving Industrial Decarbonization through Green Industry Ecosystem".
Melalui tema tersebut, AIGIS diharapkan dapat menjadi platform yang mendorong peran aktif seluruh pemangku kepentingan dalam mempercepat pengurangan emisi karbon di sektor industri melalui kolaborasi lintas sektor.
Adapun pendekatan yang perlu dilakukan sektor industri, antara lain mengintegrasikan teknologi bersih, efisiensi energi, efisiensi air, energi terbarukan, serta praktik ekonomi sirkular dalam satu ekosistem industri hijau yang saling mendukung.
"Dengan membangun ekosistem ini, transformasi menuju industri rendah karbon tidak hanya memperkuat daya saing global, tetapi juga membuka peluang investasi dan inovasi berkelanjutan bagi perekonomian nasional," jelas Andi.
(sfr)