Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengatakan program Makan Bergizi Gratis (MBG) berperan penting dalam meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia di masa depan.
Menurutnya, program MBG tidak hanya dilihat jumlah penerima manfaat, tetapi juga dari perbaikan kondisi kesehatan dan kebiasaan makan anak-anak di berbagai daerah.
"Kita mulai dengan target 500 SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi), tetapi hari ini sudah lebih dari 10 kali lipat. Alhamdulillah, dampaknya terasa langsung di sekolah. Anak-anak lebih bersemangat, tingkat kehadiran meningkat, dan kesehatan mereka menunjukkan perbaikan," ujar Dadan dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertema Satu Piring Makan Bergizi Gratis Sejuta Harapan", Kamis kemarin (14/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan standar gizi dalam MBG disusun dengan komposisi seimbang, yakni 30 persen protein, 40 persen karbohidrat, dan 30 persen serat sesuai kebutuhan kalori anak. Menu MBG juga disesuaikan dengan kearifan lokal dan selera anak di setiap daerah.
"Di Sukabumi, misalnya, anak-anak paling suka daging sapi. Di Banten, lele jadi favorit. Dengan cara ini, anak makan dengan senang hati dan makanannya tidak terbuang," Dadan mencontohkan.
Berdasarkan laporan yang diterima BGN, tingkat kehadiran siswa meningkat dari rata-rata 70 persen menjadi 95 persen sejak ada MBG. Di salah satu SPPG, penelitian selama setahun menunjukkan peningkatan berat badan, perbaikan hasil tes kesehatan, dan penurunan jumlah anak dengan kekurangan gizi.
"Ini proses jangka panjang, tapi tanda-tanda keberhasilan sudah terlihat. Kami juga akan melibatkan lembaga independen untuk evaluasi menyeluruh," ujarnya.
Agar program tepat sasaran, BGN membagi wilayah menjadi dua kategori. Pertama, wilayah aglomerasi yang dikelola melalui mitra. Kedua, wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) yang bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri melalui pembentukan satgas di setiap kabupaten.
Saat ini, dari 5.305 SPPG aktif, masih ada 18 ribu penerima manfaat yang harus diverifikasi, dengan 5.000 di antaranya belum selesai prosesnya.
"Kami sedang kebut verifikasi. Target Agustus ini selesai, lalu fokus ke wilayah 3T," tegasnya.
Kualitas sumber daya manusia juga menjadi kunci utama. Sebelum diterjunkan, petugas SPPG mengikuti pelatihan intensif selama tiga hingga empat bulan.
Selain itu, setiap SPPG diwajibkan mengunggah menu harian di media sosial agar masyarakat dapat memberikan umpan balik, menciptakan pengawasan yang lebih transparan dan partisipatif.
Dadan menekankan program MBG tidak hanya berfokus pada gizi, tetapi juga membawa dampak ganda pada ekonomi lokal dan ketahanan pangan. Dengan mengandalkan pasokan bahan baku dari potensi pangan lokal, setiap SPPG yang melayani 3.000-3.500 peserta.
Untuk melayani jumlah peserta tersebut, SPPG membutuhkan pasokan harian sekitar 200 kilogram beras, 3.500 butir telur, 350 ekor ayam, 3.500 ekor lele, dan 450 liter susu. Semua kebutuhan ini dipasok oleh petani, peternak, dan nelayan setempat.
"Satu SPPG mengelola anggaran sekitar Rp10 miliar per tahun, 85 persen untuk membeli bahan baku, dan 90 persen dari pertanian lokal. Jadi, uangnya berputar di desa, tidak keluar daerah," jelas Dadan.
Pendekatan ini, imbuhnya, membuat pasokan pangan lebih terjamin, distribusi lebih cepat, dan harga lebih stabil. Petani padi, peternak ayam, pembudidaya ikan, hingga produsen susu mendapatkan pasar pasti setiap hari.
"Ini bukan hanya soal memberi makan anak, tapi juga memastikan petani kita sejahtera, nelayan kita punya pasar, dan pangan kita aman. MBG adalah investasi ganda, yakni gizi dan ekonomi," pungkasnya.
(pta)