Penetapan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2019 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 menjadi landasan hukum bahwa sertifikat halal merupakan kewajiban bagi seluruh pelaku usaha, termasuk di sektor katering, baik publik maupun komersial.
Kini, setiap tahap dalam proses pengolahan makanan, mulai pemilihan bahan baku hingga penyajian diminta memenuhi prinsip kehalalan yang sesuai dengan syariat Islam. Dalam lini usaha katering, ada empat pelaku usaha yang wajib mengikuti aturan ini.
Keempat pelaku usaha itu adalah katering rumah sakit (RS), katering di lembaga pemasyarakatan (lapas), katering di maskapai penerbangan, serta katering di kereta api.
Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih Hilwan, M.Si, dari Halal Audit Quality Board Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menyampaikan, RS memiliki tantangan kompleks dalam menerapkan standar halal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain melayani pasien dengan kebutuhan gizi yang sangat beragam, RS juga wajib memastikan seluruh menu, termasuk makanan diet khusus seperti rendah garam atau tinggi protein, telah tersertifikasi halal.
"Proses audit halal menjadi lebih menantang karena adanya menu dengan kebutuhan nutrisi khusus, seperti makanan rendah garam, tinggi protein, atau diet tertentu untuk pasien dengan kondisi medis spesifik," kata Mulyorini.
Dalam praktiknya, penyedia jasa boga RS harus mendaftarkan seluruh varian menu dan alternatif bahan bakunya ke dalam Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH). Kabar baiknya, kini sudah tersedia berbagai produk nutrisi medis bersertifikat halal yang dapat menjadi acuan penyusunan menu.
Dengan lingkup dan sistem penyajian yang berbeda dengan RS, prinsip sertifikasi halal yang berlaku ditegaskan tetap sama, yakni makanan yang diberikan harus bersih, layak, dan sesuai syariat.
"Pada lembaga seperti rumah sakit dan Lapas yang melayani individu dari berbagai latar belakang, penyediaan makanan halal juga menjadi bentuk penghormatan terhadap hak beragama," ujar Mulyono.
Ia menambahkan, kompleksitas menu dan perubahan bahan baku menjadi tantangan yang perlu diantisipasi oleh penyedia katering di lapas. Untuk itu, penting memiliki sistem manajemen halal yang kuat dan konsisten.
Selanjutnya pada penerbangan, terutama rute internasional, penyediaan makanan halal memerlukan kehati-hatian ekstra. Makanan yang disajikan mungkin berasal dari berbagai vendor dan negara, dengan standar yang berbeda.
"Perlu penekanan bahwa sertifikasi halal hanya berlaku pada menu utama, dan tidak mencakup minuman karena pada penerbangan internasional sering tersedia minuman beralkohol. Oleh karena itu, penanda khusus produk halal harus ditempatkan secara jelas dan terbatas hanya pada bagian yang memang tersertifikasi halal," papar Mulyorini.
Dengan penandaan yang jelas, konsumen Muslim dapat memilih makanan dengan aman dan nyaman tanpa was-was dalam perjalanan.
Sementara pada moda transportasi darat seperti kereta api, tantangan disebut terletak di aspek rantai pasok. Makanan yang disajikan di atas kereta sering kali berasal dari berbagai vendor di sepanjang jalur perjalanan, yang harus terintegrasi dalam sistem halal.
"Tantangan utamanya adalah rantai pasok yang melibatkan banyak vendor sepanjang rute perjalanan. Semua vendor yang terlibat harus masuk dalam Sistem Jaminan Produk Halal dan mematuhi prosedur yang ditetapkan," kata Mulyorini.
Mulyorini mengingatkan, penerapan SJPH yang disiplin dapat menjadi solusi agar kualitas makanan tetap terjaga dan kehalalan terjamin di setiap titik distribusi.
Ia mengakui, konsistensi bahan baku menjadi salah satu persoalan krusial dalam proses sertifikasi halal katering. Banyak penyedia jasa boga yang masih memilih bahan baku berdasarkan harga dan ketersediaan pasar lokal, tanpa memperhatikan status sertifikasi halal dari bahan tersebut.
"Katering kerap memilih bahan yang tersedia di pasar lokal dengan harga terjangkau, tanpa memperhatikan apakah bahan tersebut memiliki sertifikat halal atau tidak," ujar Mulyorini.
Untuk mengatasi hal ini, penyedia jasa boga disarankan untuk mendaftarkan semua varian menu dan alternatif bahan bakunya, serta mengacu pada bahan-bahan yang telah tersertifikasi halal, terutama untuk komponen kritis seperti daging, ayam, dan bumbu masak.
Di sisi lain, Mulyorini juga mendorong peran aktif pemerintah dalam memperkuat rantai pasok halal, salah satunya dengan memprioritaskan sertifikasi halal bagi Rumah Potong Hewan (RPH) dan Unit Pemotongan Unggas (RPU) kecil.
Menurutnya, langkah ini akan memastikan bahwa sumber bahan makanan yang digunakan oleh jasa katering benar-benar terpercaya dan sesuai standar kehalalan, sehingga pelaku usaha tidak lagi kesulitan membuktikan kehalalan bahan baku yang digunakan.
Sebagai upaya mempercepat adopsi sertifikasi halal di sektor jasa boga, LPPOM membuka ruang konsultasi dan edukasi yang diberikan gratis. Pelaku usaha katering yang belum memahami alur dan prosedur sertifikasi halal dapat menghubungi Call Center 14056 atau melalui WhatsApp di 0811-1148-696 untuk mendapatkan pendampingan langsung.
Selain itu, LPPOM juga secara rutin mengadakan kelas gratis Pengenalan Sertifikasi Halal (PSH) yang diadakan setiap minggu kedua dan keempat. Pendaftaran dapat dilakukan melalui laman resmi ini.
LPPOM optimis, berbagai tantangan di sektor jasa boga bisa diatasi dengan penerapan SJPH yang konsisten, dukungan sistem yang kuat, serta edukasi dan pendampingan yang memadai. Seluruh usaha itu diyakini dapat membentuk ekosistem makanan yang halal, sehat, dan terpercaya bagi seluruh lapisan masyarakat.
(rea/rir)